Transformasi SDM di Perusahaan Shell
Melakukan suatu perubahan yang sifatnya transformasional (berubah dari paradigma A ke paradigma B dengan disertai perubahan peraturan) tidak selamanya mudah. Pengalaman perusahaan minyak dunia Shell ini dapat menjadi pelajaran bahwa perubahan itu memerlukan waktu bertahun-tahun, bahkan sampai gonta-ganti pejabat/pimpinan perusahaan selama beberapa kali.
Namun akhirnya, Human Resources Department (HRD) di perusahaan minyak Shell mampu memainkan peran penting dalam membentuk dan menerapkan strategi perusahaan, dengan memelopori praktik manajemen internasional.
Memulai Transformasi
Fungsi HR perusahaan Shell awalnya berubah dari berdasarkan atas operasi negara (country-based) menjadi operasi regional (regional grouping). Itu terjadi pada tahun sembilan puluhan. Tujuannya adalah untuk meraih skala ekonomi dalam proses. Tapi perbedaan-perbedaan di antara wilayah regional ini begitu nyata. Manajemen HR sadar bahwa agar menjadi lebih efisien dan profesional, mereka harus berubah menjadi sebuah organisasi global yang terpusat. Untuk itu memang harus ada investasi di bidang Teknologi Informasi (Information Technology – IT), bukan sekadar untuk standardisasi dan penyamaan proses kerja.
Pimpinan di Shell saat itu ingin mentrasformasikan fungsi HR dari jeneralis menjadi spesialis, sehingga orang HR dapat memberikan masukan stratejik bagi perusahaan. Sementara itu pekerjaan administrasi dilakukan semua karyawan secara self-service. Transformasi struktural ini juga memungkinkan Shell membangun pusat keunggulan (centers of excellence) di bidang rekrutmen dan pelatihan.
Poin-poin transformasi, yang diluncurkan saat itu menyangkut empat hal. Pertama membangun orang HR dari generalis menjadi spesialis. Kedua mengubah organisasi dari desentralisasi menjadi sentralisasi. Ketiga, mengubah kebijakan dan proses yang tidak konsisten menjadi platform seragam. Keempat urusan administrasi yang dilakukan secara self-services.
Di atas kertas memang mudah. Tapi ternyata kemudian dalam implementasinya empat poin itu banyak mengalami rintangan, bahkan boleh dikatakan awalnya mengalami kegagalan. Mengapa?
Awalnya Shell People sebagai Global Platform
Shell People diluncurkan dengan tujuan untuk melakukan harmonisasi proses dan memetik manfaat dari keseragaman (commonality) melalui suatu platform IT global. Rencananya, platform Shell People akan diterapkan bertahap dari satu negara, kemudian berpindah ke negara lain yang menjadi tempat operasi Shell.
Setelah melakukan presentasi di hadapan manajemen puncak, panitia pengarah yang diketuai manajer senior HR melancarkan road shows secara luas untuk mengomunikasikan visi ke unit-unit bisnis di luar negeri. Di balik visi transformasi ini adalah satu hal sederhana.
Menurut HR Group Director saat itu, Hugh Mitchell, Shell People merupakan konsekuensi/keharusan dari situasi dan kondisi infrastruktur yang ada, dan memang bukan cara baru untuk melakukan sesuatu hal/
“Kami telah mengeluarkan sejumlah besar uang untuk memperbaiki dan meningkatkan infrastruktur yang ada, karena itu adalah mutlak kalau di dalamnya termasuk suatu sistem yang baru,” jelasnya.
Panitia pengarah terikat untuk menerapkan Shell People sejalan dengan budaya perusahaan. Tanpa mengabaikan sasaran standardisasi dari proyek, tim pemrakarsa Shell People bersedia mendengarkan suara-suara individu dan menawarkan penyesuaian-penyesuaian terhadap kebutuhan setempat, di negara-negara tempat operasi Shell.
Janjinya proyek Shell People akan menawarkan situasi menang-menang (win-win situation). Visi transformasi HR dapat dicapai, unit-unit bisnis dapat beroperasi lebih efisien dengan sistem yang lebih andal, sementara perusahaan tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan. Kelihatannya memang ideal.
Platform IT ditawarkan ke unit-unit bisnis sebagai sebuah pelayanan. Departemen HR menyediakan biaya untuk pengembangan sistem, sedangkan unit bisnis diminta untuk membayar biaya implementasi. Jadi ada pembagian dalam hal pembebanan biayanya.
Seorang manajer bisnis Shell di Asia yang merasa yakin terhadap keberhasilan transformasi itu, siap untuk ambil bagian. Arthur Williamson, Manajer Proyek saat itu mengatakan bahwa begitu mereka mendapatkan sambutan dari unit bisnis, maka pionir akan segera diikuti oleh unit-unit bisnis yang lain.
Sayangnya, unit-unit bisnis lain hanya sedikit yang memberikan respon. Lebih dari seratus negara tempat operasi Shell, hanya enam negara saja yang ambil bagian dalam menerapkan Shell People. Unit-unit bisnis setempat berargumentasi bahwa karena harus menyediakan anggaran untuk implementasinya maka mereka menuntut adanya muatan lokal.
Amanda Manzoni, Vice President HR Shared Services saat itu, merefleksikan masalah yang muncul: Setiap orang setuju standardisasi sepanjang standardisasi yang sesuai dengan aturan mereka. Akhirnya banyak yang tidak yakin. Banyak orang tidak paham akan strategi dibalik Shell People.”
Ketika ada perubahan, mereka tidak berminat ikut di dalamnya. Mereka abai terhadapnya. Bahkan perlawanan terhadap perubahan ini menjangkiti baik di kalangan orang bisnis maupun orang HR sendiri. Sedapat mungkin orang akan menghindari perubahan sampai tiba pada situasi dimana mereka tidak lagi dapat melakukannya dengan cara lama. Artinya berubah karena terpaksa.
Empat tahun setelah diluncurkan, Shell People akhirnya ditinggalkan. Meskipun telah menghabiskan banyak dana, proyek itu tidak diterima oleh unit-unit bisnis. Kegagalan Shell People diawali dari kurang tegasnya kebijakan yang diambil di level direksi.
Krisis sebagai Titik Balik
Kendati pandangan orang terhadap Shell People terlanjur negatif, direksi belum menyerah terhadap transformasi HR karena mereka yakin akan besarnya manfaat dari program tersebut. Bahkan mereka tidak keberatan kalau harus mengeluarkan uang lagi dalam jumlah signifikan. Tertantang untuk meneruskan transformasi, Chairman Shell selanjutnya Phil Watts waktu itu, melakukan campur tangan secara pribadi.
Watts mengganti panitia pengarah sebelumnya yang hanya terdiri dari orang HR. Kini ia memasukkan Chief Financial Officer (CFO), HR Director, dan IT Director. Mereka langsung dibawah pimpinan Watts, yang mengeluarkan pendanaan baru dan model pengelolaan yang bersifat top-down. Hal ini berbeda dengan tim sebelumnya yang terdiri lima orang manajer senior, dan pendanaan secara patungan antara HR pusat dengan anggaran masing-masing unit bisnis. Namun tiba-tiba ada restrukturisasi di perusahaan Shell.
Restrukturisasi pada 2005 – yang menggabungkan dua perusahaan menjadi satu, menurut Williamson merupakan kesempatan untuk melanjutkan lagi program transformasi HR yang sempat gagal. Pada tahun itu, transformasi HR dilakukan melalui model kepemimpinan terpusat dipimpin langsung oleh CEO Shell Group, Jeroen van der Veer, yang dibantu oleh para pimpinan unit bisnis dan HR Group Director Hugh Mitchell. Transformasi kali ini memiliki tujuan yang sangat jelas dengan tahapan yang jelas pula. Pendanaan juga dilakukan secara terpusat, sehingga tidak lagi membebani anggaran unit-unit bisnis.
“Tanpa dukungan itu, kita hanya akan mendorong mereka ke sana dorong sini,” kata Mitchell.
Untuk mensukseskan perubahan ini, suatu tim kecil dari para manajer senior ikut menjembatani proses perubahan dari HR ke unit-unit bisnis.
Selain melakukan pendekatan top-down, Mitchell menghentikan kastemisasi (mengakomodir muatan lokal). Dalam program Shell People sebelumnya, tim perubahan terlalu memberi angin ke unit-unit sehingga permintaan kastemisasi beranekaragam akhirnya malah tidak dapat diakomodir semuanya.
“Anda harus bersikap keras terhadap pembangkangan lokal karena setiap orang memang tidak ada yang sama persis. Jika kita tanya seseorang apakah Anda suka akan sesuatu hal, maka mereka cenderung menyatakan memilih caranya sendiri,” katanya.
Shell HR Online
Tahap selanjutnya dari transformasi ini adalah berpusat pada HR Online. Memerlukan waktu tiga tahun untuk mengaplikasikan HR Online. Sebetulnya, HR Online dibangun di atas platform Shell People, yang sudah ada sebelumnya. HR Online memungkinkan dilakukannya kebijakan HR sedunia secara seragam, menyamakan proses transaksi, dan fungsi swalayan (self-service).
Mike Sinclair, Shell Business Service Centre mengatakan HR Online betul-betul bagus. Dia memiliki mesin pencarian yang mirip Google dan bahkan terus ditingkatkan kemampuannya.
Peluncuran HR Online bersamaan dengan gelombang perubahan organisasi secara besar-besaran setelah kepemimpinan Shell dipegang oleh Peter Voser. Dalam benak Voser, Shell telah tumbuh menjadi organisasi cukup kompleks, yang mendesak untuk direstrukturisasi. HR Online secara langsung memfasilitasi restrukturisasi dan mendorong efisiensi di berbagai aspek dalam perusahaan.
Manfaatnya bagi karyawan-karyawan Shell di luar negeri, sangat nyata. Tindakan pertama yang dapat dilakukan dengan Shell People dan HR Online adalah implementasi kebijakan ekspatriat yang baru. Para ekspatriat biasanya menghubungi kantor HR setempat kalau akan ada relokasi/pindah lokasi operasi tambang. Kepada HR setempat dia akan mendiskusikan kebutuhan apa yang perlu disiapkan dalam operasi di negara baru, misalnya mobil, tiket penerbangan, dan program pendidikan untuk anak karyawan dan lainnya.
Dengan menggunakan HR Online situasi menjadi berubah. Ekspatriat tidak perlu berhubungan dengan manajer HR secara tatap muka. Tetapi mereka akan mendapatkan penjelasan via telepon dari HR dan menerima email berisikan rincian paket perpindahan. Di dalam website sudah tersedia tawaran pilihan fasilitas mobil, tiket, dan manfaat lainnya dengan sejumlah pilihan-pilihan, sehingga mempermudah bagi staf untuk mengatur diri.
Karena sistem HR Shell memuat data personalia dari seluruh cabang Shell di dunia, orang HR dapat dengan mudah mencari seorang ahli yang sedang diperlukan untuk penugasan khusus. Di masa lalu, mendapatkan orang untuk melakukan tugas-tugas khusus di wilayah terpencil sangat sulit. HR Online juga memungkinkan karyawan Shell seluruh dunia memperbarui data mereka, sehingga keakuratan data karyawan dapat ditingkatkan. Data-data itu kini distandardisasikan dan lebih berdaya guna.
Dengan adanya Shell People dan HR Online, staf HR dapat beralih dari urusan administrasi ke hal-hal yang lebih strategis. Dengan semakin lengkapnya data-data karyawan yang dimiliki, staf HR dapat memberikan kontribusi stratejik. Bisnis sangat memerlukan banyak data. Jika kita dapat memperlihatkan gambaran tentang garis tren, grafik dan bercerita dengan dukungan visualisasi, analisis Anda akan lebih kuat, kata Hugh Mitchell.
Sistem baru ini juga membantu mengatasi permasalahan yang diakibatkan oleh perbedaan bahasa dan budaya, dan menurut karyawan, HR menjadi lebih transparan dan terpercaya. Menurut Williamson, HR telah berubah dari sistem yang tidak efisien menjadi satu hal yang dapat memperlihatkan kepada Anda apa saja yang diinginkan. (Eko W)
Sumber/foto : gpmfirst.com/hrmagazine.co.uk
Facebook
Twitter
RSS