Mengapa Banyak CEO Naik Gaji Pada Saat Pandemi ?

Sudah hampir setahun lamanya pandemi Covid19 melanda semua negara di dunia, dampaknya sangat terasa ke berbagai elemen kehidupan. Tidak terkecuali pada kegiatan perekonomian, akibatnya banyak perusahaan mulai menurunkan tingkat gaji karyawan mereka.
Namun demikian ternyata menurut hasil survei tahunan kantor berita Associated Press (AP) tentang gaji para CEO, justru menunjukkan bahwa gaji para CEO mengalami kenaikan. Seperti misalnya gaji para Chief Executive Officer (CEO) perusahaan-perusahaan terbesar di Amerika tahun lalu umumnya mencapai $ 12,3 juta, akibatnya kesenjangan antara penghasilan pimpinan dan karyawan semakin melebar.
Dalam laporan tersebut juga disebutkan bahwa untuk pertamakalinya seorang CEO perempuan, yang bernama yaitu Lisa Su dari Advanced Micro Devices berada di urutan teratas dalam daftar. Lisa dibayar $ 58,5 juta setelah saham-saham perusahaannya naik tinggi dalam indeks S&P 500 selama dua tahun berturut-turut. Baru kemudian daftar selanjutnya berisikan nama-nama CEO yang sudah terkenal dari perusahaan papan atas bisnis dunia, mulai dari Robert Iger dari Walt Disney dan Reed Hastings dari Netflix.
Kajian atas gaji yang dilakukan AP itu mencakup data gaji 329 CEO dalam perusahaan S&P 500 yang telah menjabat setidaknya dua tahun fiskal penuh, dan melaporkan pendapatan antara 1 Januari dan 30 April.
Di negara Inggris situasinyapun nyaris sama, dalam sebuah berita yang dimuat oleh BBC juga menyebutkan bahwa pada Januari 2021, CEO dari perusahaan top di Inggris telah mendapatkan gaji yang besarnya sama dengan yang diperoleh rata-rata pekerja di Inggris dalam setahun penuh.
Dari data yang dilansir oleh High Pay Center, sebuah lembaga kajian independen yang berbasis di London, kepala eksekutif FTSE 100 memperoleh rata-rata £3,6 juta (Rp69 miliar) setahun – lebih dari seratus kali lipat yang diperoleh oleh karyawan penuh waktu.
Para CEO tersebut seperti Tim Steiner, kepala eksekutif supermarket daring Ocado, dilaporkan menerima gaji £58,7 juta (Rp109 miliar) pada 2019. Itu 2.605 kali lipat bayaran rata-rata staf di perusahaan tersebut. Dalam perhitungan kasar dalam satu hari, Tim mendapatkan tujuh kali lipat gaji tahunan mereka.
Survei yang dilakukan sebelum terjadinya pandemi Covid19 ini ternyata telah menjungkirbalikkan situasi. Bahkan kemudian ada kemungkinan akan menimbulkan rasa ketidakpuasan banyak kalangan atas ketimpangan gaji dalam beberapa tahun terakhir.
Akibatnya kemudian banyak organisasi mulai melakukan penyesuaian CEOnya demi mengurangi kesenjangan tersebut, dan kemudian banyak dari CEO di Amerika memberikan pernyataan kerelaannya untuk memotong gaji mereka ataupun tidak digaji untuk menghindari semakin membesarnya ketimpangan tersebut.
Naiknya gaji CEO tersebut ternyata juga mendapatkan perhatian dari para investor di perusahaan mereka, dan menurut Amy Borrus, wakil direktur Dewan Investor Institusional ini menunjukkan bahwa semakin banyak investor yang menyadari bahwa gaji CEO sebenarnya terlalu tinggi.
“Bukan karena gaji mereka terlalu tinggi, tetapi mereka tidak memenuhi tuntutan kinerja perusahaan,” jelasnya lebih jauh.
Beberapa dewan direksi kemudian membuat perubahan pada rencana gaji guna melindungi CEO dari kerugian akibat resesi yang tak terduga. Menurut konsultan dan investor, penyesuaian itu sudah dibahas dalam beberapa kali rapat.
Dirinya menambahkan bahwa gaji seorang CEO didasarkan pada tujuan yang ditetapkan dewan, dan hal ini terkadang sulit dipahami investor dan yang tidak selalu mendorong kinerja.
Bagi sebagian besar orang awam gaji yang sangat tinggi dari CEO memang cukup mencengangkan, walalupun bebrapa diantaranya menganggapnya wajar terutama ketika mereka melihat kinerja Elon Musk CEO dan founder dari SpaceX. Namun kebanyakan beranggapan bahwa hal itu tidak wajar apabila dikaitkan dengan kinerjanya.
Sandy Pepper, pengamat di London School of Economics yang mengeksplorasi mengapa kesenjangan gaji terbuka antara CEO dan tenaga kerja menyatakan, apabila Anda melihat bagian awal periode itu, pekerjaan eksekutif biasanya menjadi bagian dari sistem evaluasi pekerjaan perusahaan secara keseluruhan. Ada satu sistem untuk mengevaluasi gaji setiap orang.
Analisis Pepper terhadap data FTSE 100 sejak tahun 2000 menunjukkan bahwa gaji semua karyawan rata-rata naik sekitar 3% setahun, tetapi gaji CEO meningkat sekitar 10% per tahun.
Pepper mengatakan logika yang mendasarinya adalah membayar CEO sesuai dengan kinerja keuangan perusahaan, karena merekalah faktor terpenting kesuksesan. Jadi, di atas gaji pokok, para CEO diberi bonus terkait kinerja serta opsi saham yang memungkinkan mereka untuk membeli saham perusahaan dengan harga tetap.
Paket gaji CEO Ocado Steiner pada 2019 termasuk bonus sebesar £54 juta (Rp4,8 triliun) untuk mewujudkan “rencana insentif pertumbuhan” lima tahun, yang mengukur pertumbuhan harga saham perusahaan relatif terhadap FTSE 100. (Ocado menolak permintaan komentar.)
Pada saat yang sama, proporsi bisnis Inggris yang dimiliki oleh individu menurun drastis. Kekuasaan para pemegang saham tumbuh, dan permintaan mereka akan harga saham yang melonjak berbuntut pada paket gaji yang melonjak pula untuk para CEO – disetujui oleh dewan direksi yang ingin menyenangkan investor mereka.
Robin Ferracone, CEO Farient Advisors, sebuah konsultan pembayaran eksekutif internasional, setuju dengan gaji “berdasarkan harga saham” ini. “Jika Anda memiliki CEO yang baik, efek lipat-gandanya bisa sangat besar,” katanya. “Jadi, pada prinsipnya, bayaran median untuk kinerja median dan bayaran tinggi untuk kinerja tinggi masuk akal.”
Namun kenyataannya, sistem penghitungan remunerasi untuk CEO lebih rumit dari itu. Perusahaan mengandalkan komite kompensasi, yang sebagian besar terdiri dari anggota dewan dan eksekutif dari perusahaan lain yang bertemu setahun sekali.
Selain ukuran yang lebih tradisional seperti pengalaman dan riwayat kinerja, komite menggunakan pembandingan sebagai bagian penting dari proses – mencari tahu bagaimana kompensasi CEO dibandingkan dengan CEO di perusahaan-perusahaan serupa, menurut Steven Clifford, mantan CEO dan penulis buku The CEO Pay Machine.
Seringkali jumlahnya berada di persentil ke-50, ke-75 atau ke-90, dan oleh karena itu mereka terus-menerus mempertahankan atau meningkatkan gaji, tulisnya.
Sebuah studi pada tahun 2010 di Journal of Financial Economics menyimpulkan sistem komite kompensasi ini mempercepat inflasi gaji “karena perusahaan sejenis memungkinkan pembenaran atas tingginya gaji CEO mereka”.
Bonus kemudian disepakati sebagai cara untuk mengukur kinerja, baik peningkatan berdasarkan ukuran keuangan atau diberikan sekaligus jika tujuan tertentu terpenuhi.
Saat pemegang saham semakin berkuasa, permintaan mereka akan pembagian saham yang tinggi telah membuat gaji CEO semakin besar.
Proses untuk menentukan gaji pokok dan bonus itu dianggap bermasalah oleh perwakilan pekerja karena dewan, tidak ingin mengecewakan pemimpin perusahaan yang bisa memecat mereka, terus menaikkan gaji.
Pepper berpendapat bahwa bukti empiris menunjukkan korelasi terkuat antara bayaran dan tingkat keuangan perusahaan bukanlah kinerja keuangan, melainkan ukuran perusahaan – ada lebih banyak uang untuk dibelanjakan. “Semakin besar perusahaannya, semakin besar pula bayaran untuk CEO,” katanya.
Apakah gaji jumbo CEO bisa dibenarkan masih menjadi topik perdebatan sengit. Di satu sisi, ekonom pasar bebas berpendapat bahwa gaji eksekutif yang tinggi dibenarkan jika sejalan dengan kepentingan eksekutif dan pemegang saham.
Menurut mereka apabila bisnis bersedia membayar sejumlah uang kepada CEO, maka itulah nilai yang menurut pasar layak bagi para eksekutif.
Menurut Daniel Pryor, kepala program di Adam Smith Institute, sebuah wadah pemikir neoliberal menyebutkan bahwa CEO adalah kunci sukses dan cukup jelas ada sejumlah terbatas orang yang memiliki keterampilan, kepribadian, dan watak untuk menjadi CEO dari perusahaan top, dan jumlah orang yang terbatas itu sangat dicari.
Pryor memberi contoh Steve Jobs di Apple, Jeff Bezos di Amazon, dan Elon Musk dengan Tesla dan SpaceX, talenta luar biasa yang telah menempa teknologi revolusioner dari awal. Namun sejumlah peneliti mengatakan bahwa peran CEO rata-rata – tipe manajerial yang tidak mendirikan bisnis yang dipimpinnya dan belum menjadi seorang visioner – terlalu dilebih-lebihkan. Sebaliknya, faktor-faktor lain lebih penting dalam menentukan nasib perusahaan.
David Bolchover, pakar manajemen-pembayaran yang menulis buku Pay Check: Are Top Earners Really Worth It? berpendapat bahwa ada beberapa alasan suatu perusahaan dapat memiliki kinerja baik. Mungkin perekonomian atau sektornya sedang naik, yang tidak ada hubungannya dengan CEO, mungkin mereka beroperasi dalam oligopoli. Kontribusi pekerja juga menentukan.
“Dampak seorang CEO terhadap kinerja perusahaan tidak dapat diukur, yaitu merupakan pokok masalah ini. Mereka menggunakan ‘ideologi bakat’ sebagai pembenaran. Tetapi apakah kemampuan mereka sangat langka? Saya rasa ini akal-akalan saja.” jelasnya lebih jauh.
Bolchover mengatakan krisis keuangan global pada 2008 adalah contoh utama bagaimana kinerja dan bayaran tidak selalu selaras.
“Sektor keuangan selalu mempertahankan gaji besar atas dasar kemampuan dan bakat mereka yang langka,” ujarnya. “Tapi banyak dari bank-bank ini bangkrut selama krisis, dan orang-orang mulai bertanya-tanya – mengapa mereka digaji begitu besar dan mengapa mereka terus digaji begitu besar bahkan setelah krisis?”
Menurut Bolchover, “pusaran kepentingan pribadi” antara pemegang saham, anggota dewan, dan eksekutif adalah alasan mengapa gaji CEO tidak turun-turun – dan, baginya, itulah mengapa ada tekanan yang meningkat dari masyarakat umum.
Sementara gaji para petinggi terus naik, hak-hak karyawan tampak terus menurun – terutama untuk para pekerja garis depan di tengah pandemi. Bagi banyak pekerja biasa, jumlah besar ini telah menjadi pil yang semakin pahit untuk ditelan.
Kemarahan tenaga kerja atas ketimpangan gaji ini meluas awal bulan ini ketika ribuan karyawan di British Gas mengadakan mogok kerja selama lima hari sebagai respons atas rencana untuk mengurangi tenaga kerja dan mengalihkan karyawan ke kontrak baru dengan hak yang lebih sedikit.
Ketegangan telah memanas sejak 2018 setelah kepala eksekutif Centrica, perusahaan yang memiliki British Gas, menerima kenaikan gaji sebesar 44% menjadi £ 2,4 juta.
Pekerja di perusahaan-perusahaan besar tempat CEO berpenghasilan tinggi menjadi lebih gelisah soal kesenjangan gaji, terutama karena ketidaksetaraan terus berlanjut.
“Ini serakah namanya,” kata John, seorang pekerja berusia 32 tahun di British Gas, yang namanya telah diubah karena masalah keamanan pekerjaan. “Ini lebih dari gaji perdana menteri. Bagaimana mereka bisa membenarkannya? Ketika Anda membayar uang sebanyak itu, tidak berarti Anda mendapatkan kualitas, tetapi Anda mendapatkan orang tertentu dari latar belakang tertentu. ”
(Melalui email, juru bicara Centrica berkomentar bahwa gaji pokok CEO perusahaan saat ini adalah 19% lebih rendah dari CEO sebelumnya, dan bahwa selama tahun 2020, baik CEO maupun direktur eksekutif tidak menerima bonus tahunan atau kenaikan gaji tahunan.)
Namun, ada tanda-tanda bahwa kenaikan gaji CEO setidaknya melambat. Paul Lee, yang telah bekerja sebagai konsultan investasi selama 20 tahun, mengatakan bahwa gaji CEO di Inggris telah “stabil” dalam beberapa tahun terakhir, “tetapi level tersebut telah berkisar antara £4 hingga 5 juta selama beberapa tahun”.
Lee percaya perubahan pola pikir investor institusional dan dana kekayaan kedaulatan berada di balik mandeknya gaji CEO baru-baru ini. Mereka berinvestasi di perusahaan-perusahaan bergaji tinggi ini, tetapi mereka pada intinya didanai oleh masyarakat umum – melalui dana pensiun dan investasi – dan menyadari kegelisahan yang semakin besar.
“Apakah angka-angka itu dibenarkan? Sangat sulit untuk mengatakan secara objektif,” katanya. “Tapi ada atmosfer akuntabilitas yang mulai berkembang. Sebagian karena perdebatan di publik, sebagian lagi karena tekanan dari pemerintah.”
Misalnya, di AS, draf Accountable Capitalism Act yang diajukan Senator Elizabeth Warren mengusulkan batasan waktu pada penjualan saham perusahaan, dalam upaya mengalihkan fokus dari pengembalian pemegang saham jangka pendek ke tujuan jangka panjang semua pemangku kepentingan.
Ada juga inisiatif yang muncul seperti di San Francisco dan Portland, di mana bisnis dikenai pajak jika rasio gaji mereka terlalu tinggi, menciptakan insentif ekonomi yang eksplisit untuk meningkatkan kesetaraan.
Dan, di tengah pandemi, para eksekutif di beberapa perusahaan top termasuk Boeing, Marriott International, dan PwC telah secara sukarela mengorbankan sebagian dari gaji mereka untuk menyelamatkan pekerjaan para stafnya pada 2020 – meskipun banyak yang mengkritik ini sebagai ‘selemah-lemahnya iman’.
Luke Hildyard, direktur High Pay Center, mengatakan perusahaan dapat mengambil langkah yang lebih berarti untuk mengurangi ketimpangan gaji, seperti merangkul perwakilan pekerja di ruang rapat, dan pelaporan yang lebih baik dari data gaji perusahaan untuk meningkatkan akuntabilitas. Penghasilan perusahaan kemudian dapat didistribusikan secara lebih merata ke seluruh tenaga kerja.
“Meningkatkan kehidupan orang-orang normal dengan penambahan uang yang relatif kecil dapat membuat perubahan,” kata Hildyard. “Itu akan menjadi langkah maju yang dramatis.”
Bagi Hildyard, gaji CEO yang menggiurkan adalah bukti yang “mengejutkan” dari perpecahan yang semakin besar di masyarakat. “Inggris adalah salah satu negara dengan pendapatan yang paling tidak setara di negara maju, dan itu telah meningkat seiring dengan kenaikan gaji eksekutif.”
Dia berpendapat hal ini penting karena penelitian menunjukkan bahwa negara yang tidak setara cenderung buruk dalam berbagai ukuran termasuk kohesi sosial, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, tingkat kejahatan, dan pendidikan. Tingkat ketimpangan yang lebih tinggi berarti masyarakat semakin menderita.
Dengan resesi ekonomi global di depan mata saat pandemi berkecamuk, Hildyard yakin “pengawasan terhadap ketimpangan” akan meningkat.
Dia berkata meningkatnya peran industri keuangan, outsourcing pekerjaan bergaji rendah, dan berkurangnya serikat pekerja ada di balik ketimpangan yang semakin lebar dalam beberapa dekade terakhir.
Dirinya menambahkan pada saat yang sama, mereka yang berada di puncak tidak hanya mempertahankan kekayaan mereka – tetapi menyaksikannya tumbuh secara besar-besaran. Jika tren itu berlanjut, masyarakat akan semakin terpecah dan para pekerja akan menderita.
Sumber/foto : bbc.com/nypost.com


Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS