Komunikasi Aktif Pimpinan dengan Karyawan Dapat Mencegah Terjadinya Burn Out
Bulan Februari merupakan saat dimana banyak karyawan di seluruh dunia merasa stres berat, bagaimana tidak setelah musin liburan akhir tahun berakhir kemudian mereka harus langsung berhadapan dengan beragam tumpukan pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Hal tersebut bisa berdampak pada semakin meningkatnya gejala burn out pada karyawan. Beberapa penelitian terbaru yang dilakukan oleh Cigna Corp. dan Asia Care Group, mendukung adanya fenomena ini.
kerugian akibat burn out tidak lagi pada sisi mental karyawan semata, karena hasil penelitian lebih lanjut oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyimpulkan bahwa terdapat kerugian hingga US $ 1 triliun setiap tahun, karena adanya penurunan produktivitas yang disebabkan oleh depresi dan kecemasan. sebagai akibat dari burn out tersebut.
Solusi untuk masalah ini memang ada, namun itu bukan solusi sederhana. Karena beberapa dekade terakhir ini perhatian lebih banyak diberikan pada pemberi kerja, tentang bagaimana mereka dapat memainkan peran yang lebih penting dalam mengurangi tingkat tekanan mental karyawan mereka. Serta lebih kepada bagaimana memahami burn out sebagai masalah pribadi karyawan. Akibatnya topik kesehatan mental menjadi tabu untuk dibicarakan, terutama di Asia.
Berdasarkan penelitian Cigna dan Asia Care, lebih dari 90 persen orang di Asia mengatakan bahwa mereka sering mengalami stres. Delapan dari sepuluh mengatakan bahwa mereka merasa tertekan karena hidup dalam budaya kerja, yang mengharuskan siap sedia setiap waktu. Mulai dari mengecek email yang masuk hingga kepada menunggu telepon dari atasan mereka. Tekanan tersebut bisa menjadi gejala awal kelelahan, yang ditandai dengan kelelahan kronis, sinisme, dan keterasingan dari pekerjaan hingga berakibat timbulnya perasaan tidak efektif.
Di luar stigma sosial, negara-negara Asia cenderung memiliki budaya kerja yang tidak fleksibel yang dapat menjadi rintangan juga. Dalam survei terhadap karyawan Hong Kong oleh Deacons, menyebutkan bahwa hingga 65 persen responden merasakan jam kerja yang panjang sebagai perhatian utama mereka. kemudian diikuti oleh manajemen senior yang terlalu “mendominasi” dan bos yang tidak komunikatif. penelitian tersebut juga menemukan karyawan di negara-negara Asia, sering diharuskan bekerja pada akhir pekan dan hari libur.
Pada tahun 2018, Gallup Inc., melihat penyebab utama burn out, serta apa yang dapat dilakukan oleh pengusaha dan manajer untuk menguranginya. Beberapa solusi ternyata sangat sederhana. Studi ini menemukan bahwa karyawan yang manajernya mau mendengarkan masalah terkait pekerjaan mereka, 62 persen lebih kecil kemungkinannya untuk menderita stres. Selain itu mereka yang memiliki kesempatan untuk melakukan proyek, dimana mereka memiliki keunggulan adalah 57 persen lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami stres.
Pada masa depan, tempat kerja harus melibatkan manajer yang dilengkapi dengan soft skill untuk berkomunikasi dengan benar dan berempati dengan karyawan. Serta memberi karyawan waktu yang cukup ruang, untuk merawat diri mereka sendiri.
Bagi mereka yang tidak mampu menunda pembayaran gaji mereka, bahkan istirahat sejenak atau meditasi dapat membantu. Dengan faktor-faktor eksternal yang lebih besar seperti penyebaran coronavirus, dapat memberikan andil dalam memengaruhi tingkat stres semua orang. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk bertindak mencegah terjadinya burn out di kantor.
Sumber/foto : hrasiamedia.com/forbes.com
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS