Sepertiga Pekerja Merasakan Adanya Penurunan Budaya Kerja Selama Pandemi
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Society for Human Resource Management (SHRM) di Amerika menemukan bahwa sekitar 72% eksekutif percaya bahwa budaya organisasi mereka secara keseluruhan telah meningkat sejak awal pandemi. Namun demikian sebagian besar karyawan tidak percaya bahwa perubahan tersebut bersifat positif.
Menurut Johnny C. Taylor Jr., presiden dan CEO dari SHRM, pada tahun lalu seiring dengan semakin meluasnya pandemi, perusahaannya mulai melakukan perubahan besar dalam struktur organisasi. Hal tersebut dilakukan karena banyak organisasi berusaha untuk mengakomodasi kebutuhan karyawan, yang tiba-tiba harus bekerja secara remote dan di lingkungan yang jauh berbeda dari sebelumnya.
“Secara jujur kami harus mengakui bahwa pandemi telah mengubah tempat dan cara kami bekerja. Sehingga untuk itu kami perlu menyerahkannya kepada para pemimpin bisnis dan profesional SDM untuk menciptakan budaya positif yang lebih baik yang dapat meningkatkan kepuasan dan produktivitas karyawan,” jelasnya.
Para profesional SDM dan karyawan lainnya menyebutkan bahwa masalah terbesar dalam budaya kerja mereka ketika harus mengadopsi sistem kerja baru adalah karena buruknya komunikasi, beban kerja yang berubah-ubah. Hal inilah yang kemudian membuat sebagian besar karyawan secara sukarela meninggalkan perusahaan mereka dan menyebutnya sebagai perubahan negatif yang harus mereka hadapi selama pandemi.
Lebih jauh penelitian tersebut menyampaikan lebih dari sepertiga pekerja Amerika menunjukkan bahwa manajer mereka tidak tahu bagaimana cara memimpin tim di masa krisis, dan 26% manajer mengatakan tempat kerja mereka tidak menyediakan pelatihan kepemimpinan. Hal inilah yang membuat mereka mengalami krisis kepemimpinan.
Penelitian juga mencatat sebagai akibat dari akumulasi tersebut lebih dari separuh karyawan yang telah meninggalkan pekerjaan mereka dalam lima tahun terakhir. Karena budaya tempat kerja mengindikasikan memburuknya hubungan dengan manajer mereka. Hanya 22% pekerja yang bertahan pada pekerjaan itu.
Sepertiga orang Amerika yang bekerja menunjukkan bahwa budaya organisasi mereka membuat sulit untuk menyeimbangkan antara komitmen pekerjaan dan kehidupan sosial mereka. Akibatnya 45% karyawan kemudian menunda hal-hal penting dalam kehidupan pribadinya, karena tuntutan pekerjaan.
Kemudian tiga dari lima karyawan mengakui bahwa mereka meninggalkan pekerjaan karena tingginya tingkat stres sebagai akibat dari pandemi. Sehingga 30% dari mereka menjadi lebih mudah emosi walaupun ketika mereka sudah berada di rumah.
Terbatasnya komunkasi antara karyawan dengan perusahaan juga telah membuat empat puluh empat persen karyawan yang bekerja dari rumah merasa terisolasi. Serta merasa khawatir bahwa kantor dimana mereka bekerja, akan memberikan penilaian yang buruk ketika harus bekerja jauh dari atasan. Dalam hal ini karyawan perempuan lebih mudah terkena stres akibat situasi kkerja yang demikian, sehingga mendapatkan efek negatif yang lebih besar bila dibandingkan dengan karyawan pria.
Meskipun budaya tempat kerja memainkan peran besar dalam kepuasan kerja secara keseluruhan, itu bukan satu-satunya alasan organisasi mengalami penurunan moral dan peningkatan kehilangan bakat selama pandemi.
Menurut profesional HR yang disurvei oleh SHRM, tiga alasan utama orang secara sukarela meninggalkan pekerjaan mereka adalah kurangnya peluang pertumbuhan karir, hubungan negatif dengan manajer dan berbagai hal yang berkaitan dengan masalah gaji.
Sumber/foto : shrm.org/parkavegrp.com
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS