Memahami dan Mengatasi Tantangan dalam Membangun Budaya Kerja Positif di Perusahaan
Setiap perusahaan memiliki warisan budaya kerja yang khas dan menjadi tulang punggung produktivitas. Serta sebagai pegangan dalam pencapaian tujuan sesuai visi perusahaan.
Budaya kerja tidak sekadar terdiri dari peraturan formal seperti peraturan perusahaa atau tata tertib kantor, melainkan juga mencakup dinamika hubungan antar karyawan dan gaya kepemimpinan yang diterapkan.
Pada hakikatnya, budaya kerja bukanlah sekadar himpunan norma perilaku yang mengikat karyawan, tetapi merupakan cerminan nilai bersama, keyakinan, dan prinsip-prinsip yang menjadi landasan perusahaan.
Dalam membangun budaya kerja yang positif di perusahaan, langkah kunci yang harus diperhatikan adalah keterlibatan karyawan dan komitmen dari pimpinan. Keterlibatan karyawan dan dukungan dari pimpinan sangat penting dalam menggerakkan kegiatan dan program-program budaya perusahaan.
Menurut I Gede Eke Djajasaputra, Corporate Culture and Knowledge Management dari Pama Persada saat ditemui Intipesan pada Rabu (6/2) pada Seminar Performance Management 2024, tantangan utama dalam mengembangkan budaya kerja yang baik ? yang pertama adanya perubahan.
“Perubahan itu sangat-sangat cepat pada saat ini. Jadi orang bilang ada VUCA ya, volatility, uncertainty, complexity sama ambiguity. Semakin hari perubahan ini semakin cepat dan itu dipercepat dengan adanya disruption,” jelasnya.
Menurutnya hal yang paling mengkhawatirkan saat ini, bukan lagi disruption dari luar tapi disruption dari dalam. Ketika karyawan-karyawan itu belum memahami atas value yang dianud ataupun yang ditetapkan oleh perusahaan, sehingga sinertisitas tanggung jawab yang ucungnya adalah militansi karyawan itu akan hilang.
“Untuk itu kegiatan sosialisasi, internalisasi atas value operation itu kami bangun semaksimal mungkin dengan melibatkan karyawan, bahkan kami punya KPI sampai 100% dan juga komitmen dari para pimpinan di tempat kami,” tambahnya.
I Gede juga menambahkan bahwa ada dua hal yang paling mendasar pada saat ini adalah, satu terkait dengan perubahan, dan yang kedua adalah sekarang adanya third generation, ada baby boomers, generasi X, Y, Z, bahkan nanti akan mulai lagi dengan generasi alpha.
“Ini yang menjadi satu tantangan tersendiri bagi kita, terutama bagaimana cara mengkolaborasikan mereka. Sehingga satu sama lain bisa memahami dan itu menjadi satu perhatian, yang dapat membantu kami untuk meminimalisir gap-gap tersebut,”ungkapnya.
Lantas bagaimana cara mengukur kualitas budaya kerja di perusahaan ?
I Gede menjawab, ya untuk hal itu kami kembali lagi pada esensinya. Untuk mengukur efektivitas, maka kami tentunya mengukur tentang bagaimana keterlibatan karyawan itu di dalam organisasi.
“Kemudian yang kedua bagaimana para leader-leader itu mensupport dari kegiatan dari budaya perusahaan. Jadi kalau Edgar Schein itu bilang bahwa budaya adalah bayangan dari seorang leader, maka yang menjadi perhatian utama kita pada saat ini adalah bagaimana leader-leader itu dapat membangun, memotivasi, support dinat, mengajak orang-orang yang untuk mencapai tujuan yang kita harapkan. Terlebih-lebih seperti yang nanti kita coba sharingkan adalah high performance culture, bagaimana budaya perusahaan yang berorientasi pada kinerja yang tinggi, tutupnya.
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS