Empat Hal Yang Harus Dikuasai Pemimpin Agile Dalam Mengembangkan Organisasi

Untuk menjadi agile, organisasi bisnis perlu melakukan langkah transformasi. Perubahan yang biasa saja atau sifatnya hanya tambal sulam bukanlah sebuah transformasi. Mengganti logo, mengubah susunan direksi, meluncurkan buku kompetensi, mencetak buku saku Visi-Misi-Nilai, hanya merupakan seremonial yang tidak akan berefek ke perubahan kinerja.
Untuk menumbuhkan budaya agile dalam suatu organisasi, tidaklah cukup melalui otomatisasi, mengembangkan rencana, dan evaluasi proyek sehingga kinerja perusahaan meningkat. Para pemimpin juga harus menginspirasi karyawan tentang kreativitas dan inovasi, sehingga ketika organisasi bertransformasi semua karyawan dapat berkontribusi secara langsung.
Manajer dan pemimpin perusahan mungkin saja tidak dapat memprediksi, apa saja tantangan dan resiko yang harus mereka hadapi di masa depan termasuk perubahan. Akan tetapi mereka dapat mengambil langkah-langkah untuk memastikan, bahwa organisasi yang dipimpinnya telah memiliki persiapan untuk menghadapi tantangan yang tak terhindarkan semaksimal mungkin. Inilah cara para pemimpin yang gesit melakukannya.
1.Kreativitas dan Inovasi
Kita sering menganggap kreativitas dan inovasi bisa dipertukarkan fungsinya. Namun menurut Samuel Bacharach, McKelvey Grant Professor dari Organizational Behavior di Cornell University, kreativitas dapat digambarkan sebagai pemikiran yang tidak terarah dan ekspresif, di mana hal-hal yang akrab dibayangkan dalam pemikiran atau gambaran baru. Sedangkan inovasi di sisi lain, disengaja dan diarahkan yang nantinya akan menciptakan nilai dan hasil dalam produk, layanan atau proses baru atau lebih baik.
Organisasi yang menolak akan berinovasi dan mengembangkan ide-ide baru untuk menghadapi perubahan tentu akan tertinggal. Maka sangat perlu untuk kita bertindak gesit dan cepat dalam beradaptasi terhadap perubahan.
Kegagalan kepemimpinannya yang tidak agile untuk menavigasi laju perubahan dalam lingkungan teknologi yang terus berubah, akan menciptakan situasi yang sangat beresiko di mana kerugian finansial, merek, dan pasar menjadi hal pasti didapatkan.
Seperti halnya Apple, yang secara konsisten menemukan cara untuk membayangkan kembali penawarannya. Dengan cara melakukan pembaharuan dan menciptakan nilai tambah melalui penyediaan produk-produk canggih yang ditawarkannya kepada pelanggan dari waktu ke waktu. Jelas adalah bahwa kepemimpinan, dan Apple memahami dan menerapkan prinsip-prinsip agile untuk keuntungannya.
2.Kepercayaan, Keterlibatan, dan Kolaborasi.
Seperti hanya kita memahami bahwa manusia adalah makhluk sosial, yang tidak bisa hidup sendiri, juga perlu kerjasama bersama orang lain. Termasuk juga dalam hal bisnis atau pekerjaan. Tetapi untuk mengoptimalkan hubungan interpersonal dan partisipasi dalam tempat kerja, kondisi tertentu harus ada. Hal ini adalah tentang kepercayaan, keterlibatan, dan kolaborasi yang tinggi. Tidak peduli seberapa pintar dan mampu seorang pemimpin, tanpa partisipasi penuh dari karyawan ataupun tim, visi tidak akan bergerak maju.
Kepercayaan adalah fondasi, ini membantu orang untuk merasa aman dan berkontribusi dengan antusias tanpa takut akan penghakiman atau pembalasan.
Tentu para pemimpin harus menginspirasi kepercayaan dengan bersikap jujur, transparan, dan melakukan apa yang mereka katakan akan dilakukan. Mereka menciptakan budaya kepercayaan dengan mengundang partisipasi penuh dari karyawan, terlihat, vokal dan partisipatif, serta memberikan dukungan yang diperlukan untuk ekosistem. Ketika tingkat kepercayaan mulai meningkat, maka hal ini akan dapat berpengaruh terhadap keterlibatan karyawan.
Menurut Polling Gallup, keterlibatan karyawan akan menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi, retensi yang lebih baik, kecelakaan atau resiko yang lebih sedikit, dan profitabilitas yang lebih tinggi.
Masing-masing hasil ini menjadi pertanda baik bagi lingkungan VUCA, dan kemampuan tenaga kerja untuk membantu organisasi berhasil menavigasi laju perubahan. Terlebih lagi keterlibatan tinggi juga menciptakan peluang lebih besar untuk kolaborasi yang bermakna. Dengan memprioritaskan kesejahteraan tenaga kerja, para pemimpin yang gesit membangun kekuatan dari dalam ke luar dan menempatkan organisasi pada posisi terbaik untuk berkembang.
3.Memiliki Kemampuan Memimpin di Semua Level
Para pemimpin yang agile harus mampu mengatasi segala tantangan dengan mengembangkan bentuk-bentuk kepemimpinan yang lebih demokratis dan terdesentralisasi, dengan menempatkan organisasi untuk lebih kolaboratif dan tangguh. Struktur semacam itu membangun kapasitas, kemampuan, dan akuntabilitas yang lebih besar.
Holacracy, manajemen terdesentralisasi dan struktur tata kelola organisasi di mana wewenang dan pengambilan keputusan didistribusikan oleh tim yang mengatur diri sendiri, adalah salah satu contoh yang perlu dilakukan. Ketika beragam aktor dalam suatu organisasi diberdayakan untuk mengambil tanggung jawab atas peran mereka dalam memfasilitasi hasil, itu akan mendorong kerja sama yang lebih besar, mendorong bimbingan dan memperkuat jalur kepemimpinan.
Mempromosikan kepemimpinan di semua tingkatan juga membuat peran pemimpin menjadi lebih mudah diakses oleh organisasi secara luas. Ketika memimpin dipraktikkan sebagai upaya kelompok, ada kolaboratif yang lebih besar dalam permainan dan peningkatan komitmen terhadap kebaikan bersama, yang bermanfaat bagi organisasi. Terutama selama masa-masa yang sulit dan menantang.
4.Kemauan Untuk Belajar
Pembelajaran berkelanjutan sangat penting untuk pola pikir pertumbuhan. Bergantung hanya pada gelar formal dan sertifikasi satu kali untuk naik tangga perusahaan, tidak akan membentu meningkatkan profesionalisme dalam lingkungan bisnis global yang kompetitif saat ini.
Keberhasilan berkelanjutan membutuhkan pengejaran pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi yang berkelanjutan untuk meningkatkan pengembangan pribadi dan profesional. Selain itu tanpa penerapan pengetahuan dan wawasan baru, akan sulit bagi seorang pemimpin untuk benar-benar agile.
Para pemimpin yang agile memahami bahwa dorongan untuk belajar lebih banyak bukan hanya tentang mereka. Mereka juga mengadvokasi pembelajaran seumur hidup, sebagai prioritas strategis bagi organisasi yang mereka pimpin.
Mereka meningkatkan prioritas ini dengan menciptakan peluang yang relevan dan insentif untuk pertumbuhan, baik lewat jalur formal (seperti workshop ataupun pendidikan resmi) dan jalur informal (seperti seminar ataupun forum diskusi).
Peluang ini paling sering dikaitkan dengan budaya pembelajaran yang berpikiran maju dengan menghargai umpan balik, dan menghargai upaya karyawan melalui ulasan tahunan, promosi, dan bonus.
McKinsey & Company Amy Edmondson dan Bror Saxberg menjadikan pembelajaran sebagai prioritas strategis. Ini mungkin terdengar seperti banyak pekerjaan, tetapi akan menjadi kebutuhan kompetitif. Pesatnya perkembangan informasi bersama dengan langkah perubahan yang cepat di setiap aspek masyarakat. Hal tersebut juga berarti bahwa keputusan dan peran organisasi. lebih penting bagi orang daripada sebelumnya.
Karena itu seorang pemimpin harus lebih fokus, dan menghabiskan lebih banyak waktu untuk meningkatkan keterampilan karyawan dan menguasai kolaborasi, empati, dan makna yang akan membantu organisasi Anda berkembang.
Ingin memimpin lebih efektif, terutama pada masa-masa sulit. Pertimbangkan untuk meningkatkan strategi ini saat berupaya menavigasi dengan cepat langkah perubahan yang tidak terduga.
Sumber/foto : entrepreneur.com/cognitive-psychiatry.com


Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS