Digitalisasi dan Pengembangan Employee Experience Menjadi Kunci Kesuksesan Organisasi

Semakin meluasnya pandemi Covid19 telah banyak memberikan dampak negatif bagi sebagian besar organisasi di seluruh dunia, hal ini kemudian membuat banyak pemimpin harus mengkaji ulang bagaimana pola hubungan mereka dengan karyawan. Terutama yang berkaitan dengan employee experience (EX) di perusahaan.
Bagi perusahaan besar seperti The Coca-Cola Company, 2020 ternyata menjadi tahun refleksi bagi mereka. Karena pada tahun tersebut mereka terpaksa mengeksplorasi cara kerja baru, terutama pada upaya bagaimana cara organisasi bertahan dan bisa tetap bergerak maju di tengah berbagai kesulitan akibat pandemi. Ini pernah diungkapkan oleh Teejay Gonzales, BIG People Services Director, Bottling Investment Group, The Coca-Cola Company.
“Akibat pandemi ini kami terpaksa harus mengidentifikasi ulang tentang bagaimana cara kami akan bekerja sama dalam situasi yang sangat berbeda dari sebelumnya, namun juga dengan tetap memfokuskan diri pada keselamatan karyawan dan perusahaam. Akhirnya dalam beberapa minggu kemudian, kami dapat memperkenalkan protokol baru yang sesuai dengan situasi dan kondisi terkini, ” jawabnya.
Menurutnya selama proses tersebut, perusahaan tetap memastikan bahwa The Coca Cola Company tetap memperhatikan feedback dari karyawan, dan ini tetap menjadi prioritas perusahaan. Seperti misalnya tentang bagaimana pendapat karyawan mengenai upaya perusahaan dalam menangani situasi yang sulit akibat pandemi, mulai dari pembatasan jam kerja hingga kepada pelayanan kesehatan pada karyawan. Hal ini pada gilirannya membantu mengidentifikasi program yang ditempuh oleh Coca-Cola sebagai bagian dari strategi prioritas karyawan mereka.
Untuk CP All Thailand, sebuah perusahaan besar di bidang retail, pandemi ini telah mempercepat transisi dari model tradisional ke model digital yang lebih maju. Sebagai pemegang lisensi utama 7-Eleven di Thailand, CP All mengoperasikan lebih dari 10.000 toko di negara tersebut.
Menurut Dr Luis Kristhanin, Assistant Chief Executive Officer, CP ALL, mereka kemudian sedikit demi sedikit mulai melakukan perubahan budaya kerja yang lebih maju dan berbasis digital, terutama dalam hal proses distribusi lewat jalur online. Karena akibat pandemi mereka terpaksa harus melatih ulang 200.000 tenaga kerja yang agar dapat mengoperasikan platform dan proses baru secara digital.
“Kami harus merestrukturisasi cara kami melakukan bisnis, cara berkomunikasi dengan para karyawan, dan cara mengelola penilaian kerja dalam hal KPI dan tujuan. Lebih penting lagi, transisi dari offline ke online bukan hanya tentang keahlian tetapi juga tentang mengubah pola pikir. Mulai dari tim manajemen hingga karyawan garis depan, kami perlu mengubah cara berpikir mereka, cara mereka melihat dunia, dan cara mereka melayani pelanggan.” ujarnya lebih jauh.
Dalam hal ini Gonzales sepakat terutama dalam hal bagaimana kemampuan untuk mengelola transisi selama pandemi sangat selaras dengan pemahaman perubahan perilaku pertumbuhan.
“Ini semua sebenarnya adalah tentang perubahan pola pikir dan kami harus memastikan semua orang di organisasi menerima kenyataan dari situasi saat ini. Selain itu kita juga perlu mengubah cara kita memimpin, cara kita bekerja, dan cara kita berkomunikasi. Pandemi telah sepenuhnya mengubah cara kami mengelola dan menjalankan operasi.” jelasnya.
Namun demikian Sujay Bhat, Penasihat Strategi SDM, SAP SuccessFactors South-East Asia, melihat masih adanya kesenjangan antara karyawan yang ingin meningkatkan keterampilan digital mereka dan perusahaan yang memiliki sumber daya untuk memungkinkan mereka melakukannya.
Karena dalam sebuah survey yang dilakukan oleh SAP memperlihatkan bahwa 100% karyawan bersedia mempelajari keterampilan digital baru, dan 86% ingin menggunakan keterampilan digital ini untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Pengalaman digital sekarang menjadi pendorong yang kuat untuk keterlibatan dan retensi karyawan.
Bhat menambahkan, dari perspektif keterlibatan karyawan, 40% responden mengatakan mereka akan pergi jika perusahaan mereka tidak mengadopsi perangkat digital dan cara kerja digital.
Sehingga dalam hal ini baik Coca-Cola dan CP ALL telah menyadarinya dan mulai meningkatkan transformasi digital mereka, dengan agenda digital untuk SDM dan fungsi bisnis utama lainnya menjadi prioritas bagi yang pertama.
Gonzales menambahkan bahwa digitalisasi selalu menjadi prioritas, tetapi karena pandemi hal ini kemudian berubah menjadi prioritas nomor satu dan saat ini. Untuk itu kami terus mendorong itu dalam agenda organisasi.
Untuk CP ALL, transisi digital telah melibatkan integrasi teknologi seperti AI dan robotika ke dalam bisnis sebagai bagian dari restrukturisasi TI. Platform HR Connect selanjutnya menyediakan pembelajaran dan alat komunikasi lainnya yang digunakan perusahaan untuk berkomunikasi dengan karyawan mereka di seluruh Thailand.
Bhat melanjutkan bahwa seluruh proses rekrutmen sekarang telah baralih secara virtual, ini artinya untuk pekerjaan jarak jauh juga meliputi pengenalan karyawan baru terhadap budaya dan etos perusahaan dilakukan secara online dan virtual. Pengalaman orientasi digital mereka adalah paparan budaya yang akan mereka dapatkan.
“Saat ini, bidang pengalaman spesifik yang dimiliki karyawan dapat dikumpulkan selama periode waktu tertentu untuk memahami dan melihat di mana kesenjangannya, dan bagaimana menjembataninya. Ini adalah kombinasi dari survei denyut nadi dan tahunan yang akan memberi Anda gambaran yang lebih jelas tentang apa trennya, area mana yang harus diperhatikan, dan apa yang perlu segera diperbaiki.” tambahnya.
Sumber/foto : hrmasia.com/inversionesenseguros.com


Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS