Membangun Transformasi Budaya Kerja Lewat Aksi dan Kebersamaan, Bukan Instruksi
Budaya kerja tidak hidup dari slogan atau panduan tertulis. Hal ini tumbuh dari tindakan nyata—dari cara orang saling berinteraksi, dari keputusan kecil yang mengedepankan empati, dan dari keberanian untuk memanusiakan proses kerja, bahkan di lingkungan industri yang berjalan tanpa henti.
Yulia Yunus, CHRP, Country Head Human Resources PT Air Liquide Indonesia, dalam 10th Talent Management Summit 2025 yang berlangsung pada Kamis (3/6) di Jakarta., menekankan bahwa budaya tidak bisa hanya ditetapkan dari atas.
“Budaya harus dirasakan, dijalani, dan tumbuh lewat hubungan,” ujarnya.
Ia berbagi pengalaman, bagaimana pendekatan humanis tetap bisa dijalankan, bahkan dalam sistem kerja 24×7 di industri manufaktur yang cukup menantang.
“Untuk fleksibilitas di kalangan karyawan blue collars itu memang nggak mudah. Seperti misalnya penerapan sistem WFH dan lain sebagainya. Ini dikarenakan sifat pekerjaan mereka, yang mengharuskan karyawan tetap di tempat. Namun demikian dalam beberapa hal tertentu, tetap kita beri fleksibilitas,” jelasnya lebih jauh.
Alih-alih program formal, keterlibatan dibangun lewat interaksi personal: seperti misalnya makan bersama operator, menyapa tanpa protokol, mendengarkan semua keluhan , aspirasi bahkan masukan dari karyawan tanpa filter.
“Saya pernah mengajak sekitar 10 operator makan di hotel, tanpa atasan, biar mereka bisa bicara jujur,” kisahnya.
Dari situ tumbuh rasa memiliki—yang pada akhirnya memunculkan kreativitas, seperti saat seorang operator memenangi lomba vlog internal dengan video edukatif mengenai pekerjaan mereka.
“Hadiahnya berupa kamera DJI, nilainya lebih dari Rp300 juta. Karena memang videonya kreatif banget,” ungkapnya.
Budaya kerja di perusahaan juga diperkuat lewat inisiatif karyawan, seperti lomba 17 Agustusan yang dirancang dan dijalankan sendiri.
“Kami dukung penuh, bahkan kami tampilkan kisah mereka di portal internal. Sehingga mereka merasa dikenal,” tambahnya.
Selain itu program keselamatan kerja pun menjadi prioritas, dengan anggaran khusus dan dukungan manajemen. Perhatian terhadap detail juga nyata—termasuk penyediaan sepatu dan seragam safety khusus untuk para karyawan perempuan.
“Memang ada biaya tambahan, tapi itu investasi jangka panjang.” ungkapnya.
Semua itu membuktikan bahwa budaya kerja tidak dibentuk di ruang rapat, tapi dalam keseharian.
“Intinya, bagaimana kita bisa meyakinkan manajemen lewat kreativitas agar nilai-nilai seperti keselamatan dan keterlibatan benar-benar tertanam menjadi budaya,” tutup Yulia..